METROPOLITAN – Klapanunggal , Pasca-pengungkapan iuran bangunan WC di SDN Limusnunggal sebesar Rp100.000, ternyata berujung pemanggilan kepala sekolah dan komitenya oleh kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bogor. Mereka dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kebijakan yang telah membebani ribuan orang tua siswa. Kini satu per satu orang tua siswa mulai berani buka suara terkait maraknya pungli di sekolah negeri, baik di sekolah tingkat dasar maupun sekolah lanjutan.
Orang tua siswa, Edi Maulana, mengungkapkan adanya praktik pungli di SDN 2 Nambo, Desa Walahir, Kecamatan Klapanunggal. Setiap siswa dimintai iuran sebesar Rp50.000 untuk membangun WC dan kebutuhan tak terduga lainnya sebesar Rp100.000 per siswa. “Setiap tahun pungutan di SDN 2 Nambo selalu ada dan memberatkan kami sebagai orang tua siswa,” keluhnya.
Sejumlah orang tua siswa awalnya tidak berani memprotes kebijakan pihak sekolah, karena khawatir ada imbas yang tidak baik pada anak didiknya. “Selama ini bantuan yang datang dari pemerintah digunakan buat apa saja. Bagi yang mampu sih nggak masalah. Tapi kasihan sama orang tua yang keuangannya pas-pasan. Fasilitas di sekolah negeri kan ditanggung pemerintah. Eh murid di SDN 2 Nambo tetap bayar,” katanya.
Terpisah, Koordinator Center for Budget Analysis (CBA), Jajang, mengatakan, pihak komite sekolah dilarang melakukan pungutan pada peserta didik atau wali murid, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016.
“Meskipun begitu, seringkali pihak sekolah malah melabrak aturan di atas. Hal ini bisa disebabkan ada salah tafsir terkait aturan tentang komite sekolah yang diberi kelonggaran untuk mendapatkan sumbangan dari wali murid, padahal dengan catatan harus dilakukan dengan sukarela,” jelasnya.
Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman wali murid tentang peraturan tersebut. Permasalahan pungli di sekolah sebenarnya hanya pucuk masalah. Tidak ada sistem pengawasan dan pendidikan. (has/b/mam/py)