METROPOLITAN – Kabar mengejutkan datang dari Kabupaten Bogor. Jajanan tahu bulat yang biasa dijual ke masyarakat itu terindikasi mengandung boraks. Hal itu terungkap saat Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kabupaten Bogor melakukan sidak ke Pasar Ciawi pada Kamis (8/9).
Setidaknya ada tiga dari empat jenis makanan yang diuji sampel Disperdagin bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Polres Bogor yang mengandung boraks. Yakni tahu, mi kuning serta cilok. Hasil lab itu dikeluarkan Dinkes Kabupaten Bogor.
“Hasil uji ini merupakan tahap awal dari pengawasan, mengingat banyak jenis-jenis makanan yang beredar di masyarakat,” kata Kepala Disperdagin Kabupaten Bogor Nuradi kepada Metropolitan, kemarin.
Ia menjelaskan, nantinya makanan yang sudah diuji lab itu akan kembali diuji di Balai Besar Industri Argo (BBIA) yang ada di Kota Bogor. Tujuannya untuk mengetahui lebih dalam kandungan apa saja yang ada di dalamnya.
“Sejauh ini kami belum bisa menghalau peredaran makanan yang mengandung boraks di pasar. Karena kita harus melakukan sosialisasi dahulu kepada mereka (penjual, red). Kemudian itu memang makanannya tidak terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM),” ucapnya.
Makanan yang diindikasi mengandung boraks memang mayoritas berasal dari Industri Kecil dan Menengah (IKM) atau produk rumahan, sehingga Disperdagin sendiri sulit melacak keberadaannya. Untuk itu, pihaknya tidak mau mengambil keputusan sepihak dan mematikan produk-produk IKM.
“Bisa saja kan itu produknya dari luar daerah. Kita juga tidak bisa memanggil penjual karena dia hanya dititipkan barang saja,” imbuh mantan setwan Kabupaten Bogor itu.
Nuradi juga menjelaskan bahwa nantinya untuk tindak lanjut penelusuran akan diserahkan kepada pihak berwajib, dalam hal ini Polres Bogor. Sedangkan untuk Disperdagin sendiri hanya sampai batas sosialisasi kepada para pedagang, pembeli dan juga akan melakukan pemetaan terhadap peredaran makanan tersebut.
“Untuk penindakan itu ranahnya polres ya, kita hanya menyampaikan saja temuan kita dan nanti tindak lanjutnya dari polres,” tandasnya.
Sementara itu, di Indonesia penambahan boraks pada makanan sudah dilarang. Meski begitu, masih dapat dijumpai makanan yang mengandung boraks di pasaran. Menurut Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Kabupaten Bogor dr Dede Agung, fungsi utama dari boraks itu adalah membuat campuran detergen, glasir enamel gigi buatan, plastik, antiseptik, pembasmi serangga, salep kulit dan pengawet kayu.
Tetapi penggunaan boraks memang sering disalahgunakan di Indonesia, yaitu untuk dijadikan bahan pengawet makanan. Dr Dede menjabarkan bahwa bahaya yang akan diterima tubuh manusia dalam jangka waktu dekat jika mengonsumsi boraks adalah demam, mual, sakit tenggorokan dan diare.
“Jangka panjang bisa membuat kerusakan hati, ginjal, bahkan beberapa literatur bisa memicu kanker saluran cerna. Pastinya akan menyebabkan kematian. Jika mengonsumsi secara terus-menerus juga dapat mengganggu fungsi syaraf, baik motorik maupun sensorik,” katanya.
Dr Dede melanjutkan, sejauh ini belum ada alat di dunia kedokteran untuk mengecek kadar kandungan boraks maupun zat kimia lainnya dalam tubuh manusia. Sehingga memang untuk pengobatannya sendiri belum ada. “Sejauh ini memang kita hanya bisa mengimbau agar masyarakat mengetahui bahaya dari boraks, karena pengobatannya sendiri memang belum ada,” ujarnya.
Melihat fenomena makanan yang mendandung boraks, Wakil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bogor M Rizky menilai bahwa hal tersebut memang sudah ada sejak lama. Karena itu, dirinya sudah mengajukan untuk pembentukan Unit Pelaksana Terpadu (UPT) yang tugasnya memonitoring, menyaring dan mengevaluasi setiap komoditas yang beredar di pasaran.
“Ini baru mau terlaksana di tahun depan, itu mau ada UPT di Dinas Ketahanan Pangan,” tuturnya.
Nantinya UPT tersebut yang akan bertugas menindaklanjuti semua temuan yang ada. Sebab, lanjut Rizky, hingga kini Disperdagin maupun PD Pasar Tohaga selaku pengelola tidak memiliki wewenang menindak peredaran makanan yang beredar di pasaran.
“Jangan sampai kita mengoreksi atau sidak hanya saat jelang hari besar saja, karena mereka tetap beredar di luar hari besar juga,” ucapnya.
Politisi Gerindra itu menambahkan, nantinya UPT yang ada di bawah naungan DKP tersebut akan memiliki lab sendiri, data dan fakta agar bisa menindak peredaran makanan berbahaya. “Harapan saya, UPT itu harus segera dioperasionalkan agar pengendalian komoditas yang mengandung zat berbahaya dapat dikendalikan,” ujar Rizky.
Sebelumnya, keberadaan pabrik boraks di Kabupaten Bogor pernah diungkap jajaran Polsek Cigudeg pada 2017. Dalam peninjauan ke lokasi, aparat kepolisian berhasil mengamankan barang bukti berupa tujuh kuintal kedelai siap giling, satu karung boraks dan 12 kotak kayu berisi tahu jadi.
Seorang pembuat tahu boraks, SP (50), mengaku pihaknya sudah beroperasi selama 2,5 tahun. Setiap harinya SP dapat mengolah tujuh kuintal kedelai dicampur dua kilogram boraks dan menghasilkan ratusan tahu. “Tahu diperjualbelikan di wilayah Cigudeg, Cibungbulang dan Leuwiliang, Kabupaten Bogor,” singkatnya. (cr2/c/rez/run)