METROPOLITAN – Sejak didirikan pada 3 Juni 2007, roda Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) masih jauh dari harapan. Mulai dari minimnya kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), konflik dengan pegawai hingga operasional yang terkesan tumpang tindih dengan Dinas Perhubungan (Dishub).
Tahun ini, nasib Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang awalnya didirikan untuk mengelola transportasi Kota Hujan bakal ditentukan setelah adanya audit dan kajian khusus oleh pihak ketiga. Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor sebagai kuasa pemegang modal merasa perlu melakukan kajian lantaran hingga saat ini perusahaan belum bisa memberikan target sesuai harapan ”Tahun ini ada kajian khusus, apakah akan dilanjut jadi BUMD atau direstrukturisasi jadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) atau apalah bentuknya. Semua kita kaji, yang penting tetap harus ada,” terang asisten Perekonomian Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, Dody Ahdiyat, saat ditemui Metropolitan, kemarin.
Mantan kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) itu menambahkan, saat ini struktur pegawai di bawah masih sementara, termasuk direktur utama yang masih dijabat Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda Kota Bogor, Endang Suherman, sebagai pelaksana tugas (plt). ”Pegawai sesuai kebutuhan,” ucapnya.
Meskipun kajian dan audit oleh pihak ketiga kaitan nasib PDJT ke depan harus matang karena baik dengan status BUMD atau BLUD pun punya risiko masing-masing. ”Dua-duanya punya risiko,” papar Dody.
Menurut dia, kajian itu diklaim tidak akan mengganggu proses pembuatan tim pansel untuk pemilihan direksi yang dijadwalkan Agustus 2019. Sebab kepastian rampungnya kajian masih berjalan, sehingga pemilihan direksi tetap harus dilakukan untuk menentukan ke mana ’arah angin’ jalannya PDJT.
”Seiring sejalan lah, kajian itu terus, sambil kita siapkan pansel untuk (seleksi, red) direksi pada Agustus tenggat waktunya. Kalau ubah struktur kan harus ubah perda (peraturan daerah, red). Seiring kajian itu, jalan bareng, mau dibawa ke mana ini, mau diapain sih ke depannya PDJT?” terang Dody.
Pria yang juga Ketua Persatuan Angkat Besi Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI) Kota Bogor itu mengakui kinerja PDJT hingga kini masih letoy dan tidak sesuai harapan, meskipun operasional masih jalan seadanya. ”Tidak sesuai harapan kami sebagai kuasa pemegang modal bahwa transportasi di Kota Bogor harus diback-up PDJT. Tapi harapan itu belum sampai, baru bisa menghidupi internal saja. Intinya BUMD atau BLUD punya risiko masing-masing. Masih digodok dan dikaji pihak ketiga sekaligus audit,” ucapnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Bogor, Edi Darmawansyah, menuturkan, pihaknya mendorong PDJT diubah dari BUMD menjadi BLUD. Sebab, dalam operasionalnya ada unsur pelayanan kepada masyarakat dan tidak melulu berorientasi keuntungan. Perubahan status tersebut bakal mengurangi beban di perusahaan.
“Supaya tak terlalu berat, karena ujung utamanya pelayanan. Jika terjadi, BLUD harus dipimpin PNS dan tidak menutup kemungkinan adanya di Dinas Perhubungan (Dishub). Tapi, harus dipertimbangkan, pejabat dan karyawan yang ada harus dirombak,” katanya.
Berbagai cara wajib dilakukan dalam mempertahankan ‘kehidupan’ di perusahaan, apa pun bentuknya. Perusahaan harus bisa mencari sumber penghasilan lain dan jangan mengandalkan APBD semata. Misalnya, bergerak di bidang perbengkelan lalu mengadakan kerja sama dengan pemerintah. ”Jadi, nanti semua kendaraan di bawah naungan pemerintah dirawat di perusahaan ini,” katanya.
Selain itu, tambah politisi Partai Bulan Bintang itu, pengadaan dan pengelolaan shelter untuk bus dan kendaraan umum massal seharusnya berada di bawah PDJT. Sebab, ada potensi sumber penghasilan lain yang bisa dikeruk untuk menghidupi perusahaan.
“Tanpa sumber penghasilan lain agak sulit mengembangkan perusahaan ini ke depannya. Kenapa? Karena bus-bus di bawah PDJT yakni bus Transpakuan belum jadi pilihan utama masyarakat. Saat ini bersaing ketat dengan kendaraan atau mobil online,” paparnya.
Belum lagi, sambung Edi, kondisi sebagian besar bus Transpakuan yang beroperasi kurang ‘menjual’ dan sebagian besar tak terlalu mumpuni. Transportasi massal jumlahnya harus banyak, sehingga jeda waktu dari bus satu ke bus lainnya kurang dari setengah jam. “Kalau lebih dari itu, ya habis diambil moda transportasi lain. Itu harus disikapi supaya perusahaan bisa berkembang,” tutupnya. (ryn/c/yok/py)