METROPOLITAN – Raut wajah penuh tanda tanya terpancar dari wajah warga Kota Bogor saat ditanya siapa wakil rakyatnya. Tak sedikit dari mereka sama sekali tidak mengetahui wakil rakyatnya. Hal itu tentu jadi sebuah tanda tanya besar. Jika masyarakat tidak tahu, lantas bagaimana wakil rakyat itu bisa duduk di kursi parlemen.
Menjadi seorang wakil rakyat di Kota Bogor setidaknya perlu mengantongi 8.000 hingga 10 ribu suara. Namun dari kuesioner yang disebar Harian Metropolitan di enam kecamatan di Kota Bogor pada Rabu (14/8), hanya ada 34,33 persen atau 206 orang dari 600 responden yang mengetahui siapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan 65,67 persen atau 394 orang tidak mengetahui siapa wakilnya.
Kurangnya popularitas anggota dewan nyatanya berimbas pada masyarakat Kota Bogor yang sulit mengontrol kinerja wakilnya selama ini. Bahkan banyak warga yang mempertanyakan apa yang sudah dilakukan wakil rakyat sejak 2014 silam hingga kini. “Nggak tahu apa saja yang sudah dilakukannya. Tahunya pas kampanye saja,” kata warga Jalan Riau, RT 03/06, Baranangsiang, Bogor Timur, Heri Haerul.
Dari 45 anggota DPRD periode 2014-2019, nama Ahmad Aswandi dan Didin Muhidin cukup familiar di ingatan warga Kota Bogor dengan persentase 6,67 persen. Popularitas politisi PPP dan PAN itu mengalahkan empat pimpinan DPRD, yakni Untung Maryono dengan 4,83 persen, Heri Cahyono 0,67 persen, Jajat Sudrajat 1,33 persen dan Sopian Ali Agam 0,33 persen.
Heri Haerul menilai para wakil rakyat memang selalu bersemangat saat mengumbar janji, khususnya pada momen kampanye. Namun, mereka lupa dan tidak peduli setelah terpilih menjadi anggota DPRD. Hal itu memang menjadi lumrah dan kerap terjadi di setiap pemilihan wakil rakyat.
Selain popularitas, eksistensi dan sikap kritis anggota DPRD menjadi salah satu pertanyaan Harian Metropolitan kepada masyarakat. Hanya ada 20,33 persen warga mengetahui wakil rakyat yang kerap tampil di media massa dan kritis dalam mengkritik kinerja Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Sedangkan 79,67 persen warga menilai bahwa anggota dewan tidak kritis seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi di Kota Bogor.
Seperti yang diungkapkan warga Kampung Kebonpedes, RT 07/03, Kebonpedes, Tanahsareal, Agus. Ia menilai kehadiran anggota DPRD sama sekali tidak berpengaruh pada kehidupan masyarakat melalui kebijakannya, atau program melalui peraturan daerah (perda) yang dibuatnya. Bahkan, menurutnya, anggota DPRD seolah tidak tahu dan peduli nasib rakyat kecil yang sudah mendukungnya. “Biasakan melihat ke bawah, perhatikan rakyat kecil, sering-sering lakukan kunjungan kepada masyarakat. Jangan datang saat butuhnya saja,” tegasnya.
Para wakil rakyat periode 2014-2019, pada Selasa (20/8) bakal mengakhiri tugasnya. Namun setelah mengabdikan diri selama lima tahun, para politisi yang duduk di parlemen itu tidak mendapatkan apresiasi yang baik dari masyarakat. Terbukti saat ditanya tentang kepuasan kinerja anggota DPRD kepada masyarakat, 423 orang atau 70,50 persen masyarakat mengaku tidak puas dengan kinerja anggota DPRD. Sedangkan masyarakat yang mengaku puas atas kinerja wakil rakyatnya hanya 177 orang atau 29,50 persen.
Popularitas, eksistensi dan kinerja anggota DPRD Kota Bogor menjadi catatan semua pihak. Tak terkecuali Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Yusfitriadi. Menurutnya, penilaian buruk yang diberikan masyarakat kepada anggota DPRD Kota Bogor bukan tanpa alasan. Popularitas wakil rakyat menjadi salah satu kunci utama penilaian masyarakat kepada anggota dewan.
“Sekarang mau nilai bagus gimana, kalau masyarakat saja tidak mengetahui siapa dewannya, kerjanya dewan apa?” ujar Yusfitriadi kepada Metropolitan, kemarin. Jika wakil rakyat kerap mengunjungi warga di daerah pemilihannya, menurutnya, tidak menutup kemungkinan warga dapat mengetahui siapa wakilnya yang duduk di parlemen. Popularitas yang buruk, jelas Yus, menandakan bahwa anggota DPRD Kota Bogor jarang sekali turun ke masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan warga. (ogi/c/mam/run)