METROPOLITAN – Usulan pembentukan Provinsi Bogor Raya rasanya sulit direalisasikan. Meski saat ini kajian usulan tersebut tengah dibahas Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, namun wacana itu langsung dimentahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Menurutnya, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) masih dimoratorium. Karenanya, usulan pembentukan Provinsi Bogor Raya seperti yang disampaikan Wali Kota Bogor Bima Arya belum akan ditindaklanjuti. ”Pembentukan Bogor Raya itu wacana. Jangan bikin dulu,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo menanggapi wacana Provinsi Bogor Raya.
Tjahjo mengungkapkan, hingga kini setidaknya ada sekitar 314 usulan DOB. ”Dengan jumlah yang begitu besar, saya bertanggung jawab. Saya sudah menyampaikan kepada Bapak Presiden, termasuk Bapak Wapres (wakil presiden, red) sebagai ketua Dewan Otonomi Daerah, untuk ditunda dulu,” ujar Tjahjo.
Menurut Tjahjo, pemerintah fokus terhadap pemerataan pembangunan di 514 kabupaten dan kota serta 34 provinsi. Demikian halnya harapan Tjahjo kepada para kepala daerah. ”Sekarang dioptimalkan dulu. Infrastrukturnya, semua bidang kesejahteraan,” tegas Tjahjo.
Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya menyebut kajian pembentukan Provinsi Bogor Raya akan tuntas akhir tahun ini. Kajian itu dilakukan tim khusus yang dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor. ”Yang penting kajiannya dulu. Akhir tahun ini kajiannya rampung,” ujar Bima.
Kajian tersebut, lanjut Bima, nantinya akan diteruskan kepada Ridwan Kamil sebagai gubernur Jawa Barat (Jabar). Dalam kajian itu Bima menyebut ada tiga opsi, yaitu perluasan wilayah, pembentukan Provinsi Bogor Raya dan memaksimalkan koordinasi antarwilayah.
Namun, Bima mengaku mendengar Bupati Bogor Ade Yasin lebih setuju dengan pembentukan provinsi. ”Seperti di Kuningan ada Kunci Bersama itu. Kuningan, Cirebon, Brebes, itu kunci bersama,” jelasnya.
Wacana pembentukan Provinsi Bogor Raya disambut Bupati Bogor Ade Yasin. Ia menegaskan segera menggelar pembicaraan dengan Wali Kota Bogor Bima Arya, sebagai kepala daerah yang meneruskan rancangan bupati sebelumnya yaitu Rachmat Yasin.
”Kita akan mengkaji bersama agar arahnya jelas, apakah jadi provinsi atau ke mana arahnya. Intinya kita akan bicara dulu ya, kita coba saja dulu,” katanya kepada Metropolitan di Gedung Tegar Beriman, Cibinong, kemarin.
Politi PPP itu juga mengaku pembicaraan yang akan dihelatnya tidak akan ada singgungan terkait rencana Kota Bogor yang akan mencaplok enam wilayah Bumi Tegar Beriman. ”Untuk pembicaraan provinsi, yes. Kalau pencaplokan, no,” tegasnya sambil tersenyum.
Menanggapi usulan tersebut, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyebut kota yang dipimpinnya lebih cocok masuk Jakarta apabila Provinsi Bogor Raya terbentuk. Menurutnya, sebagian besar warga Kota Bekasi setuju jika bergabung dengan Jakarta.
Pria yang akrab disapa Pepen itu mengatakan, sekitar 60-80 persen warga Bekasi setuju bergabung dengan Jakarta. ”Kalau di jajak pendapat pasti 60, 70, 80 persen lah pasti, karena DKI kan punya support yang luar biasa,” ujar Pepen.
Selain itu, Pepen menyatakan ada beberapa keidentikan antara Kota Bekasi dengan Jakarta. Selain dari sisi historis, Bekasi juga memiliki kultur yang mirip Jakarta.
”Saya kan delapan keturunan di Bekasi. Dulu keresidenan Jatinegara itu, Jatinegara, Cilincing, Bekasi. Tahun 76, Cilincing-Cakung diambil menjadi Jakarta. Tahun 50-an, Bekasi itu keluar Jatinegara. Tahun 76, Cilincing-Cakung diambil, kita dapat stadion. Nah, sekarang kita tinggal hasil pemekaran kabupaten/kota, tentunya punya historis budaya, sejarah,” beber Pepen.
Senada, jika diminta memilih, Wali Kota Depok Muhamad Idris mengaku pihaknya lebih memilih bergabung ke DKI Jakarta. “Saya tidak mengerti bahasa Sunda. Jadi jika anda tanya dari sisi bahasa, jelas saya pasti milih bahasa Jakarta. Termasuk jika disuruh memilih bergabung ke Provinsi Bogor Raya atau Provinsi Jakarta, tentunya memilih bergabung ke DKI Jakarta,” katanya.
“DKI Jakarta lebih banyak kesamaan dengan Depok dari sisi sejarah budaya,” sambungnya.
Terpisah, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menilai hal tersebut kurang relevan bila dilakukan atas dasar mempermudah pelayanan publik. ”Seperti yang pernah saya bilang, tak relevan kalau pemekaran untuk konteks provinsi. Karena isu pemekaran itu ada pada pelayanan publik yang terlalu jauh, yang terlalu repot,” ungkapnya. (cr2/c/mam/run)