Pakar Hukum Pidana Lilik Prihartini menilai secara garis besar ekshibisionisme termasuk tindak pidana, sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Khususnya dalam Pasal 10 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain, dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”
Wanita yang juga salah seorang dosen Pidana, Fakultas Hukum Universitas Pakuan Kota Bogor itu juga sangat menyayangkan kurang responsifnya aparat penegak hukum akan kasus ini. Meski ekshibisionisme merupakan salah satu jenis tindak pidana laporan, atau dalam istilah lainnya bisa ditindak jika ada laporan dari korban, namun banyak informasi yang beredar di sejumlah media sosial tentu dapat dijadikan dalih sebagai alasan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Walaupun tidak ada aduan resmi dari korban, kasus ini pernah populer di salah satu media sosial. Seharusnya pihak kepolisian bisa menindak pelaku, meski tidak ada aduan dari masyarakat. Bukti kasus ini di media sosial, saya rasa cukup untuk menjadi alasan dilakukannya proses penindakan kepada pelaku ekshibisionisme,” kata Lilik kepada Metropolitan, kemarin.
Menurutnya, pelaku ekshibisionisme bisa dijerat sesuai Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.
Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menilai ekshibisionisme merupakan satu dari sekian banyak jenis tindak pelecehan seksual. Ekshibisionisme sendiri bisa masuk kategori pelecehan dengan sasaran psikologi korban. Saat pelaku beraksi, korban akan berpotensi mengalami trauma, jijik hingga efek lainnya. Hal itu juga yang dinilai dapat menjadi salah satu pemicu korban ekshibisionisme mengalami traumatik.
Meski begitu, pihaknya sangat menyayangkan seluruh peraturan perundang-undangan nasional, termasuk KUHP, tidak memuat satu pasal pun yang secara eksplisit menggunakan diksi ’pelecehan’. “Masuknya pelecehan. Tapi di aturan kita, dalam undang-undang mana pun, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit menggunakan diksi ’pelecehan’. Tapi untuk kasus ekshibisionisme, pelaku juga bisa dijerat menggunakan KUHP Pasal 281, dengan ancaman pidana penjara dua tahun delapan bulan,” bebernya.
Reza menjabarkan, jika melihat secara kasuistik atau fakta dan realita kejadian di lapangan, ekshibisionisme sendiri digolongkan masuk pelecehan ’Active Mental Groping’. Dengan kata lain, pelaku bisa saja menyampaikan pesan yang melecehkan. Dengan mengandalkan komunikasi non-verbal, berupa bahasa tubuh atau gerak-gerik, terhadap korban. Seperti mengarahkan tatapan mata ke sekujur tubuh korba, mulai dari kepala hingga kaki kemudian kembali ke kepala.
“Jadi dia melakukannya dengan komunikasi non-verbal. Seperti dengan perbuatan dan gerak tubuh dan lain-lainnya. Itu contoh melakukan pelecehan tanpa mengucapkan satu kata pun dan sama sekali tidak menyentuh tubuh korban. Ini deskripsi tentang intensitas dan dimens tindak pelecehan yang bereskalasi,” jelasnya.
Terpisah, Psikolog Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Utami Rahayuningsih menjabarkan, jika dilihat dari sisi kejiwaan dan medis, ekshibisionisme digolongkan masuk kategori penyimpangan seksual atau parafilia. Parafilia sendiri sering disebut sebagai gangguan seksual yang ditandai khayalan seksual yang khusus dan desakan, serta praktik seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan menakutkan.
Gangguan parafilia melibatkan ketertarikan pada objek yang tidak biasa, seperti pada manusia atau bisa juga kepada benda mati. Prafilia juga memiliki aktivitas seksual yang tidak biasa. Tujuan para gangguan parafilia ini adalah membuat korban kesakitan, malu dan ketakutan.
“Ketika perilaku ekshibisionisme mulai mengganggu kehidupan sehari-hari seseorang, serta menimbulkan hendaya serta distress, maka hal ini mulai dipertimbangkan sebagai gangguan psikologis penyimpangan seksual,” tegasnya.
Faktor penyebab adanya pembentukan penyimpangan seksual parafilia belum diketahui secara pasti. Namun sejumlah dugaan dan spekulasi bermunculan. Sebagain menilai kelainan seksual biasanya terjadi lantaran sejumlah faktor. Seperti pengalaman pelecehan dan kekerasan seksual di masa kanak-kanak. Keterdekatan dengan situasi atau objek tertentu secara berulang kali dengan aktivitas seksual. Hambatan perkembangan dan kesulitan dalam menjalin hubungan dengan beda jenis. Rasa ingin mencoba yang diakibatkan penyampaian informasi atau persespi yang salah.
“Gangguan ekshibisionistik biasanya berawal sejak remaja setelah pubertas. Dorongan untuk memamerkan alat kelaminnya sangat kuat dan hampir tidak dapat dikendalikan oleh penderitanya, terutama ketika mereka mengalami kecemasan atau gairah seksual. Atau bisa juga karena kecanduan pornografi yang memberikan daya tarik seperti magnet yang dapat memengaruhi psikologi ketergantungan,” paparnya.
Ekshibisionisme dipastikan tidak dapat menular atau memicu korban untuk melakukan hal yang sama dengan pelaku nantinya. “Langkah yang harus diambil ketika bertemu penderita gangguan ekshibisionisme adalah dengan cara tetap berlaku tenang dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin, tanpa memperlihatkan ekspresi yang diharapkan. Karena penderita gangguan ekshibisionistik akan senang dan mendapatkan kepuasan jika mendapatkan perhatian atau ekspresi kaget dari orang yang melihatnya,” pesannya. (ogi/d/els/run)