METROPOLITAN – Bagi pencinta ikan hias, nama Pasar Ikan Parung bukanlah hal baru. Pasar yang berlokasi di Kampung Jatiwaru, RT 05/05, Desa Waru, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, itu merupakan pasar ikan terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan, keberadaannya sudah ada sejak 1985.
Pasar tersebut dikenal karena kualitas ikan yang dijualnya. Tak salah jika pendistribusiannya sudah merambah mancanegara seperti Malaysia, China, Jepang hingga Filipina. “Alhamdulillah sudah diekspor sampai luar negeri. Berkat penjual ikan yang mengikuti modernisasi, penjualan melalui media online,” kata Pengelola Pasar Parung, H Asmarudin atau Damo.
Namun, di balik kejayaan Pasar Ikan Hias Parung, ada fakta mengejutkan di awal berdirinya. Dulunya pasar tersebut hanyalah lahan kebun jengkol milik keluarga H Damo, yang berdampingan dengan lahan milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor. “Dulu di sini cuma kebun jengkol sama melinjo,” ujar H Damo.
Lantaran banyak para peternak ikan yang menjual hasil panennya di pinggir lahan milik pemerintah, tepatnya di lahan milik H Damo, akhirnya tercetus ide mengubah kebun menjadi pasar ikan untuk menaungi para peternak.
“Kala itu banyak peternak menjual ikan di pinggir lahan pemerintah. Tidak masuk pasar. Karena tidak difasilitasi pemerintah, jadi sulit bagi penjual ikan untuk berkembang. Terlebih waktu itu kan sulit juga untuk diimbau. Apalagi mereka dimintai retribusi,” bebernya.
“Karena ada pedagang yang meminta menyediakan lahan berjualan ikan, akhirnya kita bangun pasar ikan ini sekitar tahun 2004. Sebelum dibangun, para peternak dan pedagang cuma numpang menghitung ikan yang akan dijual saja di lahan keluarga saya,” imbuhnya.
Sejarah pun dimulai sejak 2004. Awalnya, tutur H Damo, hanya ada kurang lebih 50 pedagang ikan di pasar tersebut. Namun, kala itu bukan ikan hias yang ramai dijualnya. Melainkan ikan konsumsi seperti lele dan gurame.
Setelah diturunkan peralatan pedagang ikan, dengan alat seadanya tanpa campur tangan pemerintah, akhirnya banyak dari pedagang mengajukan membuat bale-bale atau lapak untuk menjajakan ikannya.
“Walau cukup banyak pedagang waktu itu, saya sama sekali tidak meminta biaya sepeser pun. Selama enam tahun mereka gratis berjualan di pasar ini (di lahan milik H Damo, red). Bahkan, hingga kini saya menggratiskan biaya listrik,” terangnya.
H Damo mengaku hanya ingin memajukan dan menyejahterakan petani dan pedagang ikan. Bahkan sudah menjadi cita-citanya sejak lama. Bagaimanapun, ia merasa sama seperti pedagang ikan lainnya yang lahir dari petani ikan sejak 1980 hingga kini.
Kini tak kurang dari 350 pedagang menjual ikannya di pasar tersebut, yang didominasi ikan hias. Sekitar 200 lapak pun tersedia. Sementara jumlah kiosnya masih dalam pendataan.
“Dari 2010 hingga kini, akhirnya semakin banyak pedagang. Dan akhirnya saya menerapkan biaya kontrak lapak dan kios. Khusus untuk lapak yang bisa diisi tiga sampai empat pedagang dikenakan biaya kontrak Rp2,4 juta per tahunnya. Sedangkan listrik masih saya subsidi hingga kini. Termasuk biaya keamanan Rp5.000 dari setiap pedagang, yang nantinya setelah pasar tutup langsung dibayarkan kepada petugas keamanan pasar,” terangnya.
Jadwal penjualannya,jelas H Damo, dalam sepekan hanya dibuka Senin, Kamis dan Sabtu, dimulai pukul 12:00 hingga 16:00 WIB. Itu mengacu pada peraturan pemerintah di tengah pandemi Covid-19.
“Di pasar ikan ini kami sediakan speaker. Jadi sebelum pasar dimulai dan berlangsungnya transaksi jual-beli, kami tak henti-hentinya mengimbau kepada pembeli dan penjual untuk menerapkan protokol kesehatan dengan rajin mencuci tangan, memakai masker dan jaga jarak,” katanya.
Di lain hal, jelas H Damo, tempat itu menjadi peluang usaha bagi siapa pun. Bahkan, ia membuat koperasi berbadan hukum. Tujuannya agar tidak ada pedagang liar. Sekali pun ada preman yang datang, ia akan rangkul. “Saya arahkan untuk berjualan. Ya berdagang. Karena sampai sekarang juga saya masih dagang. Masih angkat-angkat barang untuk berjualan,” ungkapnya.
Bagi yang hendak berbisnis ikan hias, H Damo pun berpesan kepada peternak dan pedagang untuk lebih awal mencari ilmunya sebelum menekuninya. “Kebanggaan saya saat ini, pedagang di sini sejahtera. Luar biasa. Pedagang yang rugi itu pedagang yang bodoh. Jadi cari ilmunya. Antap, intip, entep, bahasa Sunda-nya. Dengan pendekatan, kita bisa dapat ilmu. Jangan malu bertanya, nanti bisa sesat di jalan,” tuntasnya. (yos/d/rez/run)