METROPOLITAN -Sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan dana BOS 2017 hingga 2019 pada SD se-Kota Bogor di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Bandung terpaksa ditunda hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Hal itu lantaran terdapat 15 pegawai di PN Tipikor yang dinyatakan positif Covid-19 pada 30 November 2020. Pengadilan pun terpaksa menghentikan operasional sementara sejak 7 hingga 11 Desember dan akan kembali beroperasi pada 14 Desember 2020.
Hal tersebut dibenarkan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bogor, Rade Nainggolan. Menurutnya, sidang dengan agenda pembacaan eksepsi seharusnya dilaksanakan Rabu (9/12), namun terganjal kasus Covid-19 dan Pilkada Serentak. ”Kemudian mestinya 11 Desember. Tapi, PN Tipikor baru buka pada 14 Desember 2020, karena ada hakim dan pegawai yang positif,” ungkap Rade.
Menurut Rade, untuk sidang lanjutan Korps Adhyaksa masih menunggu jadwal dari PN Tipikor Bandung. ”Kita masih nunggu kabar dari pengadilan,” katanya.
Sebelumnya, tujuh terdakwa korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2017 sampai 2019 telah digelar di PN Tipikor Bandung, Rabu (18/11). Dalam sidang tersebut, terdakwa yang terdiri dari H Gunarto mantan Kepala SD Ciluar II Kecamatan Bogor Utara, H Basor PNS guru, Dedi selaku kepala SD Negeri Gunungbatu I, M Wahyu kepala SDN Panaragan I Kecamatan Bogor Tengah, Subadri kepala SDN Bondongan Kecamatan Bogor Selatan dan Dede M Ilyas selaku kepala SDN Bangka III Kecamatan Bogor Timur dan dari unsur swasta, JR Risnanto hanya tertunduk saat duduk berjejer di depan majelis hakim saat Rade membacakan dakwaan.
Berdasarkan berkas kejaksaan, kasus korupsi ini bermula saat 211 SD di Kota Bogor menerima dana BOS pada 2017 senilai Rp69 miliar lebih, 2018 Rp70 miliar lebih dan 2019 Rp67 miliar lebih. Sebagian dana BOS tersebut digunakan untuk pengadaan naskah soal ujian. Awalnya, terdakwa JR Risnanto meminta jadi rekanan penyedia penggandaan naskah soal ujian sekolah dasar se-Kota Bogor 2017 senilai Rp22 miliar lebih. ”Di sini mulai terlihat adanya penyelewengan anggaran yang seharusnya digunakan untuk keperluan siswa,” terang Kasi Intel Kejari Kota Bogor, Cakra Yuda.
Cakra melanjutkan, saat itu saksi Taufan Hermawan (almarhum) selaku ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kota Bogor 2017-2020 menyampaikan pada terdakwa JR Risnanto bahwa dari harga yang nantinya akan dimuat dalam kontrak kerja sama, tidak seluruhnya dibayarkan kepada JR Risnanto, tetapi akan ada potongan dengan alasan untuk operasional sekolah.
Pengadaan soal ujian ini diketahui dan dikoordinir Taufan Hermawan bersama-sama K3S tiap kecamatan. Yakni soal ujian UTS semester genap, UKK semester genap, try out I -III di semester genap. Lalu, ujian sekolah semester genap, UTS semester ganjil dan UAS semester ganjil selama 2017-2018-2019 untuk sebagian besar SD negeri di Kota Bogor menghabiskan biaya Rp22 miliar lebih bersumber dari APBN 2017, 2018 dan 2019.
”Jumlah tersebut tidak seluruhnya dibayarkan kepada penyedia yakni JR Risnanto, melainkan hanya Rp12 miliar lebih. Dengan demikian terdapat selisih sebesar Rp9,8 miliar lebih,” ujar Cakra.
Cakra melanjutkan, nilai selisih dari Rp9,8 miliar itu kemudian dibagi-bagi kepada sejumlah pihak setelah disepakati Taufan Hermawan bersama para terdakwa, H Gunarto, Basor, Dedi S, M Wahyu, Subadri dan Dede M Ilyas.
Dengan rincian tahun anggaran 2017-2019 yakni Taufik Hermawan menerima dan bertanggung jawab atas dana Rp2,5 miliar lebih, Gunarto sebesar Rp399 juta lebih, H Basor sebesar Rp236 juta lebih, Dedi S sebesar Rp349 juta lebih dan M Wahyu sebesar Rp255 juta lebih.
”Kemudian Subadri Rp389 juta lebih, Dede M Ilyas Rp349 juta lebih dan seluruh kepala sekolah yang turut mengikuti pengadaan soal yang dikoordinir pengurus K3S Kota Bogor menerima dana Rp4 miliar lebih,” tuturnya.
Kejari Kota Bogor sendiri sudah menggandeng audit Inspektorat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dari anggaran Rp22 miliar lebih untuk pengadaan naskah soal selama 2017-2019 dikurangi penghitungan nilai wajar sebesar Rp4,9 miliar lebih, diketahui nilai kerugian negara.
Dari hasil audit Inspektorat Jenderal Kemendikbud menentukan, dalam kasus tersebut mengalami kerugian negara sebesar Rp17,1 miliar lebih. ”Perbuatan para terdakwa didakwa Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” terangnya.
Saat ini ketujuh terdakwa tengah mendekam di Lapas Kebunwaru sambil menunggu agenda persidangan selanjutnya.(dil/b/mam/py)