Kutunggu Kau di Persimpangan Hatiku (2)
SELAMA ini, aku juga tak pernah merasa dikekang dalam pergaulan maupun aktivitasku. Aku diberi kebebasan, kebebasan yang sangat aku hormati, kecuali pernikahan.
”Ini demi kebaikan dirimu juga, nduk. Sekarang ini mencari suami itu susahnya bukan main. Apalagi mencari suami yang punya kepribadian baik dan bagus. Kami rasa, Bayu adalah pendamping yang cocok buatmu. Kami telah mengenal keluarganya sejak kami masih remaja dulu…” ungkap ibu sambil mengelus kepalaku.
Aku terdiam tak bicara. Aku hanya menikmati kasih ibu yang aku tahu itu tulus sekalipun satu hal ini sengaja dipaksakannya kepadaku.
Pikiranku buntu. Aku tak tahu harus berbuat apalagi selain menuruti kemauan dua orang tuaku.
Untungnya saat itu aku tengah sendiri. Tak punya kekasih, tak ada gebetan. Yang kumau sebenarnya hanyalah berpetualang.
Mencicipi bagaimana sulitnya bekerja pada atasan yang tak mau disalahkan, terjun pada pekerjaan yang sesuai dengan bidang kuliahku, berkenalan dan mungkin berselisih paham dengan rekan kerjaku. Sayangnya semua tinggal bayangan saja. Besok pagi, aku sudah tak tinggal di rumahku lagi dan menghirup udara Jogja.
”Nduk, Lia… aduh, cantiknya kamu sekarang. Sudah berapa lama sih Budhe tidak bertemu kok kamu sangat berbeda ya.
Budhe kangen!” sambut Budhe dengan ramah dan langsung menghujaniku dengan pelukan dan ciuman.
Budhe memang orang yang sangat keibuan dan penyayang.
Bersambung