METROPOLITAN – Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyayangkan kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Kebudayaan (Kemendikbudristek) terkait syarat menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah.
Pasalnya, hanya guru yang mengikuti program Guru Penggerak yang dapat menempati posisi tersebut. Mereka yang bertugas sebagai pendamping, fasilitator dan asesor Guru Penggerak tidak bisa.
“Berarti seumur-umur tidak bisa dong guru-guru berprestasi yang membangun Guru Penggerak menjadi kepala sekolah. Ini kan diskriminatif, masa kasta yang lebih tinggi tidak bisa jadi kepala sekolah,” tuturnya dalam siaran YouTube dalam Vox Populi Institut Indonesia, Senin (25/10).
Untuk itu, pihaknya meminta Kemendikbudristek melakukan revisi terhadap Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah. Syarat kepala sekolah harus menjadi Guru Penggerak ada dalam beleid tersebut.
“Masukin tiga itu. Mereka berhak jadi kepala sekolah dan pengawas sekolah. Ini bisa jadi darurat kepala sekolah, karena hanya alumni Guru Penggerak dan berpotensi tidak berkualitas karena asesor Guru Penggerak tidak boleh,” terangnya.
Lebih parahnya lagi, mereka yang sudah terdaftar menjadi pendamping Guru Penggerak tidak bisa mengundurkan diri. Ini tentunya mematikan karier para guru yang memiliki kompetensi.
“Ketika mereka mau jadi kepala sekolah, mereka mau ngundurin diri dong, tidak bisa itu mundur dari pelatih, jadi ini seumur-umur mematikan karier guru berkualitas. Lebih baik jadi Guru Penggerak daripada fasilitator. Jangan sampai Guru Penggerak ini mematikan jenjang guru berprestasi, jadi kepala sekolah dan pengawas sekolah tidak bisa, mereka pun tidak bisa pindah ke Guru Penggerak,” pungkasnya.(jp/feb/py)