Kenangan Bersama Ibu (4)
SEDANGKAN kakak laki-lakiku bersiap belanja barang dagangan yang lain di pasar yang lain lagi, yang lebih jauh. Kadang aku ikut, duduk di belakang di atas keranjang anyaman bambu yang lebih besar. Sepeda yang digunakan kakakku juga lebih besar dan tinggi, ada palang di antara stang dan sadel.
Kakakku bertugas belanja celengan, kendi, tungku untuk membakar kemenyan dan barang-barang gerabah lainnya. Setelah mendapatkan barang-barang tersebut kakak akan mampir di kios permainan dingdong yang letaknya terhimpit antara terminal dan toko pakaian.
Kalau capek aku memilih rebahan di ambin ditemani radio yang menyiarkan lagu-lagu sendu. Nyaman sekali rasanya. Tetapi kadang aku harus berebut dengan kakak sulungku. Aku lebih sering mengalah. Sebab kalau tidak, dia mengancam tak mengajakku main ke studio Radio Republik Indonesia di kota kabupaten.
Selain lagu-lagu sendu aku menyukai siaran sandiwara pendekar berlatar masa kerajaan. Aku sering terhanyut oleh kisah dalam sandiwara. Aku membayangkan hidup di sana, menjadi anak murid si pendekar pembela kebenaran. Naik kuda memeluk pinggang si pendekar sakti mandraguna menerjang kawanan begal. Kala aku bersedih lantaran diolok-olok teman-teman, aku membayangkan si pendekar datang, duduk di sampingku, mengusap kepalaku.
Bersambung