Kenangan Bersama Ibu (5)
AKU teringat tawaran Richi Ricardo untuk berlatih silat. ”Kalau kamu bisa silat kamu bisa menghajar anak-anak nakal yang suka meledek kamu,” kata dia.
Tubuhku yang kecil dan gerakanku yang lamban memang sering jadi olok-olok teman-temanku. Aku acapkali tak dilibatkan dalam permainan gobak sodor dan terutama sepak bola. Aku diperlakukan sebagai anak bawang, tukang disuruh kesana kemari. Aku sendiri entah kenapa tidak menyukai permainan kelereng, adu gasing, maupun layang-layang. Tetapi aku jago memanjat pohon dan berenang. Aku berani berenang di bendungan berkedalaman dua-tiga meter.
Saat aku kesal lantaran disuruh-suruh melulu oleh teman-teman, aku pergi sendirian ke bendungan. Berenang di sana sampai menjelang maghrib. Aku menyelam dalam-dalam. Kadang aku melamun saat menyelam masuk ke gorong-gorong panjang yang mengantarku ke kota lain. ”Jangan pergi sendirian ke bendungan,” kata ibu saat aku pulang kemalaman dan telat pergi ke musala untuk sembahyang dan mengaji.
Saat bapak ada, dia yang mengajariku mengaji. Di rumah saban bakda asar bapak mengajar anak-anak tetangga mengaji. Sejak beberapa bulan lalu bapak pergi tak kembali. Aku tak mau bertanya lagi ke ibu kenapa bapak tak kembali. Aku takut membuat ibu sedih dan menangis. Nanti aku ikut menangis.
Bersambung