Sampah-sampah plastik yang berceceran di pinggir Pantai Kenjeran tidak segan dipunguti Ariel Ramadhan. Mayoritas sampah plastik yang didapat itu pun dijadikan kanvas sebagai media lukis. Upaya tersebut dilakukannya demi mendorong kesadaran terhadap kelestarian lingkungan.
MESKI mengalami disleksia, pelukis muda Ariel Ramadhan tetap teguh berkarya. Seniman 21 tahun itu bahkan menutup 2021 dengan menghelat pameran tunggal keduanya. Pameran bertajuk Laut Lestari tersebut diadakan di Kayoene Café & Gallery di kawasan Graha Famili Barat. Dalam pameran kali ini, Ariel membawa misi tentang penyadaran lingkungan.
Karena beberapa keterbatasan dalam berkomunikasi, Ariel banyak dibantu guru lukis sekaligus kurator pamerannya, Arik S Wartono. Arik selaku guru lukis Ariel di Sanggar Daun mengungkapkan, sebagai seniman, Ariel secara swadaya dan kesadaran sendiri melakukan proses berkarya yang dikemas dalam pameran lukisan bertema Laut Lestari ini.
”Total, ada 40 karya dalam berbagai ukuran yang dikerjakan sepanjang 2020–2021.
Selama dua tahun menyiapkan karya tunggal keduanya, Ariel telah melakukan berbagai eksperimen bahan dan teknik melukis,” ujar Arik.
Dia menyatakan, sebagian besar karya yang dipamerkan Ariel sejak 27 November hingga 19 Desember itu menggunakan media akrilik pada kanvas. Beberapa bagian dipadukan dengan cat air.
Menariknya, tidak semua kanvasnya disajikan dalam bentuk kotak dan persegi panjang. Ada juga bentuk kanvas bulat sebagai bagian dari inovasi yang unik. Namun, eksperimen paling berani yang dilakukan Ariel adalah melukis pada kanvas yang diolahnya dari tenda terpal bekas. Ariel menerapkan teknik kolase berbahan sampah plastik yang dipungutnya di Pantai Kenjeran.
Aneka sampah plastik, mulai botol bekas air mineral, sedotan, bungkus sampo, bungkus mi instan, hingga kemasan minyak goreng, ditempel di atas kanvas terpal dengan menggunakan lem. Beberapa bagian sampah plastik juga dibakar demi memberi efek dramatis. ”Dia seakan memberi pesan simbolis tentang bahaya pembakaran sampah plastik bagi lingkungan hidup,” ungkap Arik.
Kolase aneka sampah plastik pada tenda terpal bekas itu lantas dilukis dengan sapuan kuas dan cat akrilik. Sebagian dipadukan dengan teknik pisau palet. ”Sebetulnya pameran lukisan ini bukan cuma pameran biasa. Sebab, ada seni peristiwa atau seni konseptual yang dilakukan Ariel,” jelas Arik yang juga pendiri Sanggar Daun.
Ada dua karya dari bahan sampah plastik di atas terpal bekas yang ditampilkan dalam pameran. Karya pertama yang berukuran 180 x 120 sentimeter dikerjakan pada akhir 2020. Dan, satu lagi ukuran 159 x 103 sentimeter digarap pada awal 2021.
Arik menyebut, yang juga menarik adalah kecerdikan Ariel menggunakan bahasa simbol dengan objek utama perahu tradisional pinisi dan jongkong.
Melalui bahasa simbol tersebut, Ariel ingin mengajak masyarakat luas, baik publik maupun pencinta seni, untuk merenung ulang. Bahwa peradaban modern ternyata tidak selalu selaras dengan kehidupan planet bumi yang berkelanjutan. Diharapkan, masyarakat bisa belajar banyak dari kearifan tradisi untuk menemukan solusi atas berbagai persoalan hidup kekinian. (feb/run)