METROPOLITAN - Rencana pemerintah pusat melarang penggunaan rokok elektrik dan vape sudah merambah daerah-daerah. Terkini, Kabupaten Bogor akan menerapkan hal sama di wilayahnya. Alasannya, keputusan itu diambil untuk kemaslahatan masyarakat. Terlebih mereka yang belum berusia 18 tahun. Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor Dedi Syarif menilai sejauh ini peredaran rokok elektrik dan vape masih bisa dikonsumsi anak di bawah umur. Belum lagi kandungan di dalamnya diduga terdapat senyawa kimia berbahaya. Sehingga tak ayal jika peredarannya mendapat perhatian pemerintah. Menurut Dedi, hadirnya rokok elektrik dan vape juga banyak dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab. Seperti menggunakan device rokok elektrik sebagai salah satu alat mengonsumsi narkoba. “Kalau kemarin saya ngobrol dengan Satuan Narkoba Polres Bogor, banyak juga device rokok elektrik dipakai untuk mengonsumsi narkoba. Makanya alangkah lebih baiknya kalau peredarannya diawasi betul oleh pemerintah,” katanya. Tak hanya kandungan, larangan vape dan rokok elektrik juga diduga karena tidak adanya pemasukan yang diberikan kepada negara. Banyaknya likuid vape ilegal jadi salah satu faktor keberadaan vape dan rokok elektrik dicekal. Belum lama ini, Bea Cukai Bogor berhasil membongkar tempat penjualan likuid vape ilegal di Kota Depok, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Sedikitnya petugas berhasil mengamankan 424 botol likuid vape dari berbagai merek dan ukuran yang tidak dilekati pita cukai. “Sampai saat ini operasi masih berlanjut. Diharapkan dengan diadakannya operasi Gempur ini masyarakat lebih memahami dan mematuhi aturan terkait likuid vape ilegal, dan melaporkan ke pihak berwenang bilamana mempunyai informasi terkait peredaran barang-barang ilegal tersebut,” kata Kepala Kantor Bea Cukai Bogor Moh Saifuddin. Menanggapi hal itu, Vaporista 54 Vape Bogor, Udiw, mengaku sangat menyayangkan sikap pemerintah yang terbilang tebang pilih pada industri rokok elektrik Tanah Air. Setelah 2017 hingga 2018 lalu industri ini juga sempat disoal, kejadian serupa malah terulang kembali. “Dulu kita sempat dipermasalahkan karena likuid tak bercukai. Sekarang likuid sudah bercukai, pemerintah gubris soal pendistribusian rokok elektrik. Agak sedih juga kita kalau diganggu lagi seperti ini,” kata Udiw kepada Metropolitan, kemarin sore. Udiw merasakan kejanggalan saat pemerintah kembali menyoal rokok elektrik untuk yang kesekian kalinya. Menurutnya, pemerintah seperti memiliki kepentingan tertentu terhadap pasar rokok elektrik di Tanah Air. “Entah ada keinginan apa pemerintah dalam industri vape yang lagi booming. Mungkin karena device vape kebanyakan datang dari luar negeri kali. Apalagi rata-rata device rokok elektrik datang dari China dan luar negeri,” ujarnya. Terlalu ikut campurnya pemerintah pada rokok elektrik, sambung Udiw, mungkin merupakan salah satu langkah agar pemerintah bisa ikut ambil peran banyak dalam pendistribusian device rokok. Terlebih pada tahun mendatang, harga rokok dikabarkan naik dua kali lipat. “Mungkin pemerintah berpikir, saat rokok naik dan menjadi mahal, masyarakat akan ramai-ramai pindah dan melirik rokok elektrik sebagai salah satu solusi pengganti rokok. Atau bisa juga pemerintah melihat rokok elektrik belum memberikan kontribusi sebesar rokok,” ungkapnya. Meski begitu, pria yang sudah menggunakan rokok elektrik selama enam tahun itu menilai harusnya pemerintah mengawasi peredaran likuid yang tak berpita cukai, bukan mencari dan mempermasalahkan hal lain. “Kami yang sudah berpita cukai sudah jelas dan teruji, baik secara kandungan ataupun lainnya. Tapi yang berlum berpita, kita kan tidak pernah tahu kandungannya apa. Seharusnya itu yang diawasi pemerintah. Awasi yang ilegal, bukan yang legal,” kesalnya. Sekadar diketahui, pemerintah berniat melarang penggunaan rokok elektrik dan vape yang belakangan ini banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Larangan tersebut diusulkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kepala BPOM, Penny Lukito, mengatakan usulan tersebut nantinya akan masuk dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. "Ya harus ada payung hukum. Kalau belum ada BPOM tidak bisa mengawasi dan melarang. Payung hukumnya bisa revisi PP 109," kata Penny. Menurutnya, ada beberapa fakta ilmiah yang sudah ditemukan BPOM sekaligus menjadi dasar usulan pelarangan electronic nicotine delivery system (ENDS) di Indonesia. Bahkan, BPOM menemukan bahwa bahan baku vape mengandung senyawa kimia yang berbahaya. "Fakta ilmiah BPOM menemukan bahwa rokok elektronik mengandung senyawa kimia berbahaya bagi kesehatan, di antaranya: nikotin, propilenglikol, Perisa (Flavoring), logam, karbonil, serta tobacco specific nitrosamines (TSNAs), dan diethylene glycol (DEG)," jelas dia. Tidak hanya itu, lanjut Penny, klaim dari sisi kesehatan juga menyatakan bahwa vape sebagai produk aman dan menjadi metode terapi berhenti merokok merupakan studi yang subyektif. "WHO menyatakan tidak ada cukup bukti untuk menunjukkan rokok elektronik dapat digunakan sebagai terapi berhenti merokok," ungkap dia.(dtk/ogi/c/rez)