Rabu, 31 Mei 2023

Ojol Ancam Moda Transportasi Umum di Bogor

- Sabtu, 11 Januari 2020 | 10:37 WIB
MACET: Angkutan online mendominasi ruas jalan di Kota Bogor hingga membuat kemacetan.
MACET: Angkutan online mendominasi ruas jalan di Kota Bogor hingga membuat kemacetan.

METROPOLITAN – Tingginya mobilitas angkutan online roda dua maupun empat di Kota Bogor, tentu perlu menjadi catatan dan perhatian pemerintah. Bagaimana tidak, kehadiran angkutan tersebut tentu memberikan dampak tersendiri bagi kota maupun kabupaten yang ada. Kemacetan, penurunan pendapatan angkutan umum, hingga oknum angkutan online yang memarkir kendaraanya disembarang tempat, adalah sedikit contoh dari dampak yang ditimbulkan, angkutan yang beroprasi dengan bantuan gawai android tersebut. Jika tak dibatasi, bukan tidak mungkin tingginya mobilitas angkutan online dapat mempengaruhi sejumlah kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor soal transportasi. Seperti konversi angkutan umum, perubahan rute angkutan kota, hingga moda transportasi berbasis rel seperti trem dan LRT yang nantinya bakal menjadi moda transportasi anyar Kota Hujan. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor Eko Prabowo menilai, kehadiran ojol di Kota Hujan merupakan dampak dari perkembangan zaman dan tekhnologi, yang tak bisa dihindari. Ia juga mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, lantaran hal ini di luar kewenangannya. Memang sejumlah kebijakan di sektor transportasi tengah gencar-gencarnya digaungkan Pemerintah (Pemkot) Bogor. Mulai konversi angkutan umum, perubahan jalur angkutan dalam kota (rerouting), hingga pencanangan moda transportasi berbasis rel seperti trem. Pria yang akrab disapa Danjen ini juga mengamini, jika tak diatur mobilitas ojol tentunya akan berdampak pada moda transportasi yang ada. Meski begitu, dirinya akan mencoba melakuakn sejumlah cara, agar bisa mensinergikan angkutan online tersebut, dengan moda transportasi yang ada di Kota Bogor. “Ini kan namanya persaiangan dalam transportasi. Ada angkot, bus, dan sekarang ada transportasi online. Ini semua karna dampak dari kecanggihan tenologi yang tidak bisa kita hindari,” ungkapnya. Dirinya berharap, agar pihak pengembang dan pihak terkait, menerapkan sistem zonasi terhadap seluruh angkutan online yang ada. Hal tersebut juga pernah diterapkan pihak pengembang, untuk sejumlah wilayah seperti bandara dan lain sebagainya. Pihaknya juga mengaku tak bisa mengeluarkan aturan, lantaran regulasi dari pemerintah pusat belum ada kaitan ini. “Kita akan mencoba berusaha komunikasi dengan pemerintah pusat dan pihak terkait, kaitan regulasi yang ada. Karna di pemerintah pusat juga belum ada regulasinya, jadi kita bingung mau membuat aturan tapi belum ada payungnya. Intinya kita akan berusaha menekan mobilitas angkutan online di Kota Bogor ini,” tandasnya. Sementara itu, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, ojek daring atau ojek online (ojol) sudah merambah dengan cepat ke seluruh pelosok Nusantara, baik di wilayah perkotaaan hingga pedesaan. Meski di satu sisi memberikan kemudahan publik dalam mendapatkan transportasi cepat sampai tujuan, namun di lain hal, menimbulkan banyak persoalan dan pelanggaran lalu lintas. Seperti mengoprasikan gawai sambil berkendara. Hingga sekarang angka pasti jumlah pengemudi ojol hanya Tuhan dan aplikator yang tahu. Pemerintah pun tidak tahu berapa jumlah pastinya. "Bagaimana pemerintah mau mengatur, membina dan mengawasi, jika jumlah angka pasti saja tidak diketahui hingga sekarang. Pemerintah cenderung mendukung karena dianggap dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi warganya," katanya. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan, rata-rata pengemudi ojol bukan didominasi oleh mereka para pencari kerja (pengangguran,red). Melainkan mereka yang sudah memiliki pekerjaan, namun beralih menjadi ojol lantaran tingginya penghasilan kala itu. Dari hasil survey di wilayah Jabodetabek termasuk Bogor, latar belakang pengemudi ojol yang berasal dari pengangguran hanya berkisar 18 persen. Dominasinya berasal dari wirausaha sebanyak 44 persen, dan pekerja swasta 31 persen. Sisanya berasal dari pelajar dan mahasiswa sebanyak 6 persen dan ibu rumah tangga 1 persen. "Jadi, kurang benar jika selama ini ada anggapan kalau bisnis ojol itu mengurangi pengangguran. Yang pasti adalah beralih profesi menjadi pengemudi ojol, karena tawaran penghasilan yang memikat saat itu. Namun akhirnya sekarang terjerat dan untuk kembali ke pekerjaan semula alami kesulitan. Ini data berdasarkan hasil survei 2019 lalu. Bahkan di kota besar seperti Bandung, Makasar, Surabaya dan Yogyakarta, hasilnya juga hampir sama," ujarnya. (ogi/b/mam)

Editor: Administrator

Tags

Terkini

X