Pondok pesantren (ponpes) sejatinya menjadi tempat para santri menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Namun, tidak dengan SK (13). Seorang santri asal Tangerang yang mondok di Ponpes Tahfidz Kecamatan Tamansari itu malah mendapat tindak kekerasan dari seniornya, RM (17). KINI, kasus tersebut tengah ditangani Polres Bogor setelah orang tua korban membuat laporan polisi soal dugaan penganiayaan. Kuasa hukum korban, Junnahbar, mengatakan bahwa peristiwa dugaan penganiayaan itu terjadi pada 31 Oktober 2021. Korban mengalami luka di bagian kaki kiri dan mata sebelah kanannya bonyok, diduga ditendang dan ditonjok pelaku. ”Kaki sebelah kiri, terus mata sebelah kanan. Sampai saat ini masih merah matanya, bergenang darah. Walaupun sudah dua mingguan sesudah kejadian,” katanya. Korban yang baru tiga bulan menjadi santri di ponpes tersebut, tuturnya, diduga dianiaya seniornya sesama santri, yakni RM. Setelah dipukul satu kali, korban seperti pingsan karena mengaku saat itu langsung hilang kesadaran. ”Setelah dipukul, korban rada-rada pingsan gitu. Jadi nggak tahu lagi kejadian apa berikutnya. Jadi dia jatuh, gelap gitu. Keterangannya begitu,” papar Junnahbar. Penganiayaan itu, jelasnya, berawal dari teguran terduga pelaku kepada korban yang hendak masuk dapur ponpes. Namun, korban menanggapi pelaku dengan singkat karena habis bertengkar dengan adiknya. “Saya lagi emosi,” ujar Junnahbar, menirukan keterangan korban. Si terduga pelaku saat itu tampaknya kurang terima dengan perkataan tersebut sehingga kemudian terjadilah pemukulan. ”Kalau harapannya (klien, red) ini, proses (hukum, red) harus berlanjut sampai ke mana pun. Karena dari pihak korban ada trauma psikis dan mental mungkin ya, karena dipukul,” tegas Junnahbar. Sebelumnya diberitakan, Pimpinan Ponpes Tahfidz, Tubagus Muhammad Zaharudin Tamam, mengaku pihaknya tak mengetahui detail soal kejadian tersebut. ”Waktu kejadian, pihak ponpes tidak tahu akan perkelahian itu. Dan orang tua korban juga tidak ada omongan akan dibawa ke pihak kepolisian,” ungkapnya. Akibat tindakan tak terpujinya, Tubagus menegaskan bahwa pelaku RM yang baru enam bulan belajar di Ponpes Tahfidz itu dikeluarkan dari pesantrennya. Sedangkan korbannya, SK, sudah menerima pengobatan dari pihak ponpes. Tubagus juga mengaku pihaknya bertanggung jawab penuh terhadap SK. Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bogor mengungkapkan bahwa dalam setahun terakhir ini ada 112 kasus yang masuk dan ditanganinya. Ketua KPAD Kabupaten Bogor Jopie Gilalo mengatakan, dari 112 kasus yang diterimanya, selain dari laporan langsung, ada juga beberapa kasus yang merupakan hasil temuan pihaknya. Seperti pengaduan langsung 45 kasus, pengaduan dan pemantauan online 50 kasus, dan temuan di lapangan 17 kasus. “Jadi tidak hanya laporan yang masuk saja. Tetapi ada beberapa kasus yang memang temuan kita di lapangan. Begitu juga dengan pemantauan kita. Sehingga KTA (kekerasan terhadap anak, red) ini memang cukup banyak jika diakumulasikan,” bebernya. Dari 112 kasus yang terjadi, Jopie menyebut ada beragam kekerasan yang dilakukan kepada anak-anak. Di antaranya adalah kekerasan seksual, perebutan hak asuh, perundungan di sekolah atau di ponpes, penelantaran, eksploitasi, dan trafficking. Dalam kepengurusannya, Jopie mengaku di usia yang baru setahun ini, KPAD Kabupaten Bogor telah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai mandat Pasal 76 UU Perlindungan Anak. “Dengan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, menerima aduan masyarakat, mengumpulkan data dan informasi terkait penyelenggaraan perlindungan anak, mediasi sengketa anak, dan bekerja sama dengan stakeholder yang berhubungan,” katanya. Bahkan, ia meminta masyarakat dapat berperan andil melakukan pengawasan kepada pemenuhan hak anak yang ada di tengah-tengah masyarakat. (tib/mam/run)