Sumardi. Namanya bukan hanya tercatat sebagai sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disdagin) Kabupaten Bogor. Tetapi juga masuk daftar buronan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bogor akibat perbuatan yang merugikan. SUMARDI yang pernah menjadi pejabat di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor terendus melakukan penyalahgunaan wewenang. Ia bersama anak buahnya berani melakukan tindak korupsi duit bencana. Belum sempat ditahan, Sumardi diduga melarikan diri bersama anak dan istrinya. Kejari Kabupaten Bogor pun kecolongan. Sebab, saat melakukan upaya penjemputan, Sumardi justru tidak ada di rumah. Kondisi rumahnya sepi tanpa penghuni. Pagar pun dikunci rapat, lengkap dengan gemboknya. ”Sudah seminggu ini rumahnya kosong,” begitu kata Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Kabupaten Bogor Dody Wiraatmaja, menirukan ucapan tetangga Sumardi. Dody menuturkan, sebelum dilakukan penjemputan, pihaknya sudah tiga kali melakukan pemanggilan. Namun, yang bersangkutan selalu mangkir. Terakhir, informasi dari kuasa hukumnya, Sumardi sedang sakit sehingga tidak bisa memenuhi panggilan penyidik Kejari Kabupaten Bogor. “Ketika kami datang ke rumahnya, rumahnya kosong dan digembok semua. Tetapi kita juga sudah berpesan kepada ketua RT sekitar, jika tersangka Sumardi ada agar datang ke kejari atau kita yang menjemput,” ujar Dody. Ketika penjaga rumahnya dimintai keterangan, lanjut Dody, tersangka Sumardi sudah seminggu tidak ada di rumah. Padahal, jika melihat surat sakit yang diberikan kuasa hukum tersangka, seharusnya Sumardi berada di rumah untuk beristirahat. “Dari panggilan yang kedua, tersangka Sumardi melalui kuasa hukumnya memberikan surat sakit dan diminta untuk rawat jalan oleh dokter yang menanganinya,” paparnya. Tak hanya ke rumahnya, penyidik dari kejari juga memeriksa kantor Sumardi yakni Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Namun, ia tetap tidak ditemukan. Bahkan, Sumardi meminta anak buahnya menandatangani berkas-berkas agar ia tetap mendapatkan gaji. “Ketika cek ke tempat kerjanya, yang bersangkutan ini sudah hampir satu bulan tidak masuk kantor. Tetapi absen Sumardi tetap masuk karena ditandatangani anak buahnya,” terang Dody. Karena sikap Sumardi yang tidak kooperatif, kejari pun bakal menerbitkan surat Daftar Pencarian Orang (DPO). Sehingga, masyarakat yang melihat Sumardi dapat mengamankannya atau menghubungi kejari. “Kalau suratnya sudah terbit maka masyarakat berhak mengamankannya atau langsung menghubungi kami,” imbuh Dody. Tak tinggal diam. Kejari Kabupaten Bogor pun segera menerbitkan surat DPO untuk tersangka kasus korupsi dana kebencanaan Sumardi yang merupakan Sekretaris Disdagin Kabupaten Bogor. Ia menambahkan, saat pemanggilan pertama, tersangka Sumardi beralasan sakit. Begitu juga dengan pemanggilan kedua, tersangka memberikan surat sakit melalui pengacaranya, dengan jangka waktu tiga hari. Namun, ketika dilayangkan panggilan ketiga, yang bersangkutan tetap mangkir tanpa alasan. “Tersangka Sumardi ini sudah tidak kooperatif dari pertama pemanggilan. Bahkan saat ini nomor handphone sudah tidak aktif semua,” tutur Dody. Dalam pemanggilan kedua, Dody mengaku pihaknya sempat mengkroscek kebenaran surat sakit yang dikirimkan Sumardi kepada penyidik. Meski dokter yang menangani Sumardi membenarkan bahwa yang bersangkutan mengalami sakit asam lambung, namun dalam tiga hari dapat pulih kembali. “Surat sakit itu diberikan pada 18 Agustus atau pemanggilan kedua. Seharusnya saat ini yang bersangkutan sudah pulih. Karena jika dihitung dari surat sakit itu, memiliki jangka waktu tiga hari,” paparnya. Dengan tidak kooperatifnya Sumardi, Dody menegaskan tidak menutup kemungkinan sanksi yang bakal menjerat Sumardi akan bertambah lantaran tidak kooperatif dalam menjalani proses hukum. “Mungkin bisa saja bertambah. Seharusnya tersangka ini bisa bertanggung jawab atas perbuatannya,” tegasnya. Sebelumnya, Sumardi telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana tanggap darurat pada dinas BPBD. Kerugian negara akibat perbuatan kedua tersangka mencapai Rp1,7 miliar. ”Melalui proses berdasarkan mekanisme yang ada pada kami, jadi pada hari ini kami telah menetapkan dua orang. Berdasarkan surat penetapan tersangka nomor 723, kemudian surat penetapan tersangka nomor 724, kami telah menetapkan dua orang tersangka. Yaitu yang pertama atas nama inisial S, yang kedua atas nama inisial SS,” kata Kasi Intel Kejari Cibinong Juanda dalam keterangannya, Kamis (28/6). ”Itu perkembangan terbaru terkait penanganan tindak pidana penyidikan dana tanggap darurat pada dinas BPBD tahun anggaran 2017,” tambahnya. Juanda menjelaskan dugaan tindakan korupsi itu dilakukan pada 2017 ketika S menjabat Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik pada BPBD Kabupaten Bogor. Sedangkan, SS bekerja sebagai staf atau anggota di Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bogor dengan status pegawai kontrak. ”Tersangka inisial S ini menjabat Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik pada kantor BPBD Kabupaten Bogor pada 2017. Kedua, tersangka atas nama SS, yang bersangkutan sebagai pegawai kontrak pada BPBD Kabupaten Bogor tahun 2011–2018,” jelas Juanda. ”Kalau S, dia berperan sebagai yang melakukan pelaksanaan kegiatan pencairan anggaran BTT (Belanja Tak Terduga, red) tahun anggaran 2017 tersebut. Sedangkan tersangka SS, dia membantu dalam tugasnya sebagai staf ataupun anggota dari kabid. Si kabid ini sebagai pelaksana anggaran, pelaksana kegiatan,” bebernya. Juanda menyebut kerugian negara akibat dugaan tindakan korupsi yang dilakukan kedua tersangka mencapai Rp1,7 miliar. Dana yang dikorupsi merupakan dana BTT yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor tahun anggaran 2017. ”(Kerugian negara, red) Dari kegiatan ini, berdasarkan hasil penghitungan kerugian nega ra mencapa i Rp1.743.450.000. Estimasi kurang lebih seperti itu. Anggaran itu berasal dari APBD Kabupaten Bogor tahun 2017,” ungkapnya. Kedua tersangka, lanjut Juanda, diduga melakukan korupsi dana bantuan untuk masyarakat korban bencana, sehingga jumlah yang disalurkan tidak sesuai ketentuan. ”Berdasarkan keterangan dalam proses penyelidikan, kita memperoleh keterangan saksi-saksi bahwa penyaluran bantuan yang disalurkan kepada korban itu tidak sampai sebagaimana mestinya. Berdasarkan ketentuan yang telah ada. Sehingga ada potongan-potongan, sehingga masyarakat tidak mendapat secara sempurna dari bantuan tersebut,” jelas Juanda. Kedua tersangka dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dengan ancaman hukuman minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun penjara. (mam/feb/ run)