Pertama kalinya Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin (AY) hadir langsung dalam persidangan. AY tampak mengenakan setelan yang senada dengan kerudungnya. Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Hera Kartiningsih, AY blak-blakan menilai kejanggalan kasus yang melilitnya. Apalagi selama ini dirinya tak tahu-menahu kasus tersebut. DI Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Senin (5/9), Ade Yasin memberi kesaksian dengan jawaban lantang. Saat ditanya majelis hakim soal pertemuan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ade Yasin menjawab tegas bahwa dirinya tidak pernah menunjuk PIC atau orang yang diberi tanggung jawab terkait pertemuan dengan BPK. “Tidak ada. Saya hanya normatif ke kepala dinas, untuk tindak lanjut. Fasilitasi BPKAD (Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, red) dan Inspektorat. Saya hanya tataran itu. Bukan tugas saya menunjuk. Sudah tunjuk BPKAD sebagai leading sector untuk menyajikan data dan pemeriksaan,” kata Ade Yasin saat persidangan, Senin (5/9). Apalagi soal adanya pengumpulan uang untuk BPK atau sekadar laporan dari bawahannya di Pemkab Bogor. Malahan, AY mengaku baru mengetahui adanya pengumpulan uang untuk BPK saat persidangan. “Tidak ada laporan. Saya baru tahu pas persidangan. Saya bingung dan tidak paham atas dakwaan saya soal penyuapan. Setahu saya, suap itu harus ada bersepakat dan lainnya. Semua pemberian dan pengumpulan uang itu saja saya tidak tahu,” ujarnya. Termasuk terkait berbagai pertemuan dengan BPK soal pemeriksaan, ia tidak pernah memerintah langsung kepada terdakwa Ihsan Ayatullah (Kasubid Kasda BPKAD Kabupaten Bogor, red), namun hanya normatif kepada kepala dinas. Hal itu didukung penegasan dari Ade Yasin bahwa tidak ada kedekatan dengan Ihsan. “Perintah saya kepada kadis (kepala dinas, red), untuk mengawal. Dengan Ihsan itu sama seperti saya ke staf lainnya, tidak ada keistimewaan. Ia dekat dengan kakak saya (Rahmat Yasin, mantan bupati Bogor, red), tapi kan bukan berarti saya juga dekat dengan teman kakak saya,” paparnya. Ia juga merasa sangat janggal saat dijemput Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) medio Mei lalu. Sebab, saat itu KPK hanya menyebut bahwa ada anak buah dirinya yang ditangkap, dan KPK perlu keterangan dari bupati sebagai pimpinan. “Nggak ada surat penangkapan dan lainnya. Mereka bilang, ‘nggak apa-apa, cuma minta keterangan’. Waktu itu ada pak kapolres dan pak dandim. Mereka bilang, ‘nggak apa-apa ikut ke KPK karena hanya minta keterangan’,” katanya di persidangan, Senin (5/9). Namun, tiba-tiba ia ditetapkan sebagai tersangka. “Salah saya apa? Uang itu bukan dari saya. Lagi pula kalau OTT (Operasi Tangkap Tangan, red), cukup beberapa orang. Ini sampai ratusan saksi. Saya juga pertanyakan hp (ponsel, red) saya mana,” ujarnya. “Jadi salah saya di mana?” imbuh Ade Yasin. Ade Yasin tak kuasa menahan tangis saat menjawab pertanyaan jaksa KPK. Ia merasa difitnah atas kasus suap yang dialamatkan untuknya. “Pakai hati nuraninya, Pak. Saya diborgol untuk kesalahan yang saya tidak tahu,” katanya dengan terisak-isak saat menjawab sejumlah pertanyaan dari jaksa KPK. Ucapan Ade Yasin dengan nada meninggi itu lantas disambut sorakan suara dukungan dari peserta sidang. Beberapa peserta di antaranya bahkan ikut terisak mengusap air mata. Meski begitu, ia mengaku lega karena puluhan saksi yang dihadirkan KPK di persidangan tak ada satupun yang menyatakan bahwa dirinya terlibat dalam dugaan pengondisian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bogor untuk mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). “Semua sudah mengaku, saksi tidak ada satupun mengatakan saya terlibat. Saya difitnah. Lalu cari apa lagi, Bu? Saya di sini mencari keadilan. Saya di sini mencari kebenaran. Tolong! Kalau saya menjawab, tolong didengar juga,” ucap Ade Yasin. Menurutnya, dakwaan KPK yang menyebutkan bahwa Pemkab Bogor mengondisikan WTP agar mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) tidak berdasar. Sebab, anggaran kelebihan pendapatan pajak Kabupaten Bogor angkanya jauh lebih besar. “Saya itu tidak punya kepentingan, Pak, dengan WTP. Kami itu overtarget. Tahun 2020 dan 2021 itu overtarget. Jadi tidak perlu lagi WTP, DID. Itu di luar kewenangan saya. Karena DID saya tidak perlu lagi, karena overtarget,” tuturnya. Ade Yasin juga menjelaskan bahwa penjemputan dirinya pada 27 April 2022 dini hari oleh petugas KPK bukan merupakan OTT. Saat itu, ia diminta memberi keterangan sebagai saksi atas penangkapan anak buahnya. Awalnya, ia tak menduga bahwa sekitar sembilan orang dengan menggunakan empat mobil yang datang ke rumah dinasnya adalah KPK. Sehingga, ia menghubungi kapolres serta dandim setempat untuk meminta pendampingan. “Saya sudah menangkap anak buah ibu. Ibu diminta untuk datang ke sana. Apa tidak bisa pagi? Tidak bisa, kami nunggu 24 jam. Tidak apa-apa, Bu, ini hanya dimintai keterangan. Mereka tidak membuat surat keterangan apa pun,” beber Ade Yasin saat menceritakan peristiwa penjemputan dirinya. Kemudian, Kapolres Bogor AKBP Iman Imanuddin menyarankan agar Ade Yasin ikut anggota KPK saat itu juga dengan alasan memenuhi prosedur. “Pak kapolres bilang, ‘tidak apa-apa, Bu, ikut saja’. Di situ penyidik KPK sahur dulu bawa makanan sendiri. Saya tidak sempat sahur. Setelah mereka sahur, saya berangkat,” ujar Ade Yasin. Setelah tiba di kantor KPK, Ade Yasin mengaku heran ditetapkan sebagai tersangka tanpa dua alat bukti yang cukup. “Kata penyidik, ini sudah ada pernyataan dari yang lain. Saya tidak nyangka juga dijadikan tersangka. Tiba-tiba disodorkan rompi. Saya nanya, dijadikan tersangka buktinya mana. Saya minta dua alat bukti itu tidak ada. Uang yang ada di situ pun bukan dari saya,” paparnya. Sidang yang dipimpin Ketua Hakim Hera Kartiningsih itu menghadirkan empat terdakwa, yaitu Ade Yasin, Kasubid Kasda BPKAD Ihsan Ayatullah, Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Adam Maulana, serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUPR Rizky Taufik Hidayat. Keempatnya hadir secara tatap muka untuk diperiksa sebagai terdakwa sekaligus saksi. (ryn/feb/run)