METROPOLITAN - Aplikasi uang elektronik berbasis Quick Response Code (QR Code) gabungan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) LinkAja, masih dalam proses perizinan Bank Indonesia. Padahal, aplikasi itu rencananya akan diluncurkan dua pekan lagi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Sugeng menjelaskan, proses izin LinkAja sudah masuk ke bank sentral. ”Benar telah ada pengajuan (izin) kepada BI. Sesuai ketentuan BI, pengajuan dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan dan saat ini tengah diproses tim perizinan,” kata Sugeng. Dia menambahkan pemrosesan izin tersebut akan mengacu pada ketentuan yg berlaku dan senantiasa memastikan terciptanya sistem pembayaran yg lancar, aman, efisien, dan andal, serta memperhatikan perlindungan konsumen. LinkAja adalah uang elektronik gabungan dari empat bank milik pemerintah (Mandiri, BRI, BNI, dan BTN), serta PT Jiwasraya, PT Telkom dan PT Pertamina. Menurut Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Survei dan Konsultan Kementerian BUMN, Gatot Trihargo, LinkAja akan berada dikelola oleh PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). Finarya merupakan perusahaan bikinan PT Telekomunikasi Tbk (anak usaha PT Telkom) yang selama ini mengelola produk uang elektronik T-Cash, milik Telkomsel. Uang elektronik milik BUMN yang sudah terbentuk, akan dilebur ke dalam LinkAja. Saat ini Bank BRI punya My QR dan Bank BNI punya Yap!, dan Telkomsel punya T-Cash. Rencananya, Kamis (21/2) uang-uang elektronik itu akan bergabung dalam LinkAja. Dengan peleburan ini, harapannya pengelolaan, infrastruktur, dan promosi uang elektronik akan lebih efisien. ”Jadi promosi bareng-bareng, tidak duplikasi. Lebih efisien dari (sisi) infrastruktur,” ujar Gatot. Untuk pembagian saham, Telkomsel akan dominan dengan memegang saham sebesar 25 persen. Sementara, tiga bank yakni Bank Mandiri, BNI dan BRI akan memegang saham masing-masing 20 persen. Sementara, BTN dan Pertamina memegang masing-masing 7 persen dan Jiwasraya akan memegang 1 persen saham. Gatot menilai, mereka tak akan menyaingi layanan uang elektronik Go-Pay dan OVO. ”Kami meramaikan saja bukan pesaing. Basis pelanggan mereka (Gopay dan Ovo) juga belum banyak, 19-20 ribuan lah Gojek, kalau Grab 15 ribuan,” kata Gatot. Gatot menilai lebih penting menyuburkan ekosistem pengguna layanan LinkAja. Misalnya, banyak BUMN yang memiliki infrastruktur transportasi yang penggunaannya membutuhkan pembayaran. Infrastruktur itu mulai dari jalan tol hingga kereta api. ”Yang penting kan ekosistem. Kalau basis pelanggan kan nanti masuk ke jalan tol, bandara, KAI. Itu yang mandatory,” ujarnya. Sebagai catatan, tahun lalu Go-Jek mengklaim sebagai platform mobile on-demand dan pembayaran digital terbesar di Asia Tenggara dengan total gross transaction value (GTV) lebih dari AS $9 miliar. Ekosistem Go-Pay memproses AS $6,3 miliar GTV, sementara layanan pesan antar makanan, Go-Food, memproses AS $2 miliar GTV sepanjang 2018. (btg/els/py)