METROPOLITAN - Penerapan tatanan kenormalan baru (New Normal, red) telah diberlakukan selama sebulan lebih untuk mendorong roda perekonomian. Meski demikian, kondisi itu belum bisa memulihkan serapan tenaga kerja, khususnya pada sektor perhotelan. Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, tingkat okupansi perhotelan secara nasional baru mencapai 10 persen atau meningkat tipis dibandingkan masa pandemi yang berada di bawah 10 persen. Namun, khusus perhotelan di kawasan wisata Puncak, Bogor, misalnya tingkat okupansi mulai mencapai 20-30 persen pada akhir pekan. ”Karena okupansi baru sedikit, serapan tenaga kerja belum banyak,” katanya, Ia menjelaskan, serapan tenaga kerja sulit dimaksimalkan bila fungsi hotel hanya digunakan sebagai penginapan bukan sebagai tempat penyelenggaraan acara atau pertemuan. Sebab, pendapatan hotel terbesar saat ini berasal dari penjualan makanan dan minuman, dengan kontribusi mencapai 30-40 persen terhadap total pendapatan. Karena itu, peningkatan omzet baru bisa terjadi bila pengunjung kembali menggelar acara atau pertemuan di hotel. Pertemuan di hotel sebagian besar dilakukan pemerintah. Dari keseluruhan pertemuan yang diselenggarakan di hotel, 30-50 persen di antaranya merupakan acara yang diselenggarakan pemerintah pusat dan daerah. Karena itu, Maulana berharap pemerintah kembali mendorong pertemuan yang di hotel. Biasanya penyewaan ruangan oleh pemerintah akan meningkat jelang akhir tahun. Di tengah minimnya okupansi dan terbatasnya pembukaan kamar, yakni hanya sekitar 150 unit, menjadikan pelaku usaha perhotelan berupaya untuk menekan biaya operasional. Pasalnya, beban listrik dan biaya operasional lainnya yang ditanggung pengusaha dinilai menggerus keuangan perusahaan. ”Jadi kami melakukan efisiensi. Kalau tidak, pengusaha tidak bisa survive sampai Desember,” ujarnya. Untuk diketahui, pandemi corona memukul sektor perhotelan. Asosiasi sebelumnya mencatat terdapat 737 hotel yang tutup atau sementara tutup. (ktdt/els/run)