METROPOLITAN - Penangkapan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Apartemen Bogor Valley rupanya berbuntut panjang. Setelah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor tidak berdaya menertibkan para PSK online tersebut, kini giliran wakil rakyat di Kota Bogor yang berencana memanggil pengelola apartemen yang sering menjadi sarang prostitusi online tersebut. Ketua DPRD Kota Bogor, Atang Trisnanto, mengungkapkan keprihatinannya, terutama bagi pengambil kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif. Terlebih kasusnya melibatkan anak-anak di bawah umur. Hal itu berbanding terbalik dengan visi Kota Bogor yang merupakan kota ramah keluarga. Atang menekankan di mana Kota Bogor saat ini sudah memiliki Perda Tibum yang mengatur pelanggaran asusila. Sehingga ia mendorong pihak eksekutif, dalam hal ini Satpol PP Kota Bogor, mengambil langkah cepat menegakkan perda tersebut. Sebab, ia menyadari sebagai DPRD hanya memiliki fungsi pengawasan, bukan penegakan. Meski begitu, politisi PKS ini menekankan perlu adanya perumusan langkah yang komprehensif agar kejadian serupa tak terulang. Bahkan, ia berharap tidak ada lagi kasus prostitusi di Kota Bogor. ”DPRD dalam posisi pengawasan pelaksanaan perda yang kewenangannya ada di eksekutif. Jika dalam pengawasan dipandang ada hal pelanggaran di lapangan, namun tidak diberikan sanksi sesuai aturan hukum dan perda yang berlaku, maka DPRD bakal memanggil dinas terkait yang memiliki fungsi penegakan. Salah satunya terkait temuan kasus prostitusi di Bogor Valley ini, mengingat kejadiannya tak hanya sekali,” tegasnya. Terpisah, Kabid Penegakan Perda (Gakda) pada Satpol PP Kota Bogor, Asep Setia Permana, menuturkan, pihaknya tidak bisa melakukan penegakan perda karena saat ini proses hukum pidana tengah berjalan dan ditangani pihak kepolisian. ”Sekarang kasus itu sedang ditangani pihak kepolisian merujuk ke sanksi pidana. Jadi, untuk penerapan sanksi administratif tidak bisa dilaksanakan,” katanya. Tak hanya itu, Asep juga mengaku belum mengetahui secara detail kasus yang diungkap kepolisian. Mulai dari proses transaksi, keterlibatan pengelola apartemen atau ada pihak lain secara pribadi menyewa dan kemudian digunakan untuk prostitusi tanpa sepengetahuan pengelola apartemen. Sehingga pihaknya tidak bisa memproses Perda Tibum kepada Apartemen Bogor Valley. ”Yang paling utama sanksi administratif dan sanksi pidana tidak bisa dikenakan dua-duanya sekaligus dengan perkara yang sama,” katanya. Ketika ditanya apakah Satpol PP bisa memproses kasus ini setelah kepolisian selesai memproses sanksi pidana, Asep mengatakan hal tersebut tidak bisa dilakukan lantaran bukan Satpol PP yang menangani kasus ini dari awal. Terlebih, modus operandi yang kini dilakukan secara online merupakan ranah penegakan hukumnya ada di pihak kepolisian melalui polisi cyber crime. ”Ini yang bikin kita kehilangan sebagian kewenangan, ketika sekarang dengan semua kebanyakan transaksi online maka semua jadi kewenangan polri. Masuk ke UU ITE dan Cyber Crime,” tegasnya. Ia pun mengungkapkan, pihak Satpol PP Kota Bogor hanya bisa menindak kasus prostitusi konvensional, seperti PSK yang menjajakan diri di pinggir jalan. Padahal pada kenyataannya, kasus tersebut jarang ditemui karena semuanya sudah pindah ke moda digital. Saat ditanya apakah Satpol PP bisa menindak jika kasus yang awalnya dimulai dari percakapan via digital namun pembayaran dilakukan secara konvensional bisa ditindak Satpol PP, lagi-lagi Asep menegaskan hal tersebut tidak dapat dilakukan. ”Yang jadi masalah adalah di alat bukti. Ketika alat bukti itu adalah bukti chat dan atau transfer rek atau yang lainnya yang sifatnya transaksi elektonik dan virtual, maka seperti yang saya bilang tadi, masuk ke cyber crime yang jadi kewenangan polri,” tegasnya. ”Harusnya pengelola tinggal memperketat pengawasan saja. Kayak sekarang banyak hotel yang menerapkan pola yang ketat atau dikenal dengan hotel syariah, pasti orang yang mau berbuat di tempat itu akan berpikir dua kali,” ungkapnya. (dil/c/mam/py)