METROPOLITAN - Kasus pungutan liar (pungli) di sepanjang jalur tambang sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat luas. Namun lain cerita ketika pungutan ini dilakukan oknum kepala desa dan dilegalkan dengan diterbitkannya Peraturan Desa (Perdes) dan Peraturan Kepala Desa (Perkades) seperti yang terjadi di Desa Rengasjajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Kasus terjadinya pungli yang dilakukan oknum kepala desa Rengasjajar ini diungkapkan kuasa hukum PT Sundamanik Gerry Wahyu Rianto dari kantor Hukum GERRY WR And Akhmad Hidayat Partners. Ia mengungkapkan, kasus pungli ini berawal delapan tahun lalu, di mana oknum kepala Desa Rengasjajar melakukan pemungutan dengan iming-iming untuk pembangunan desa. Oknum kepala desa tersebut pun meminta biaya sebesar rata-rata Rp20 ribu untuk setiap kendaraan setiap melintas kepada seluruh perusahaan tambang yang melintasi desanya. ”Proses awalnya kita nggak keberatan terkait pungutan yang dilakukan pihak desa. Karena kita juga punya kewajiban lingkungan, kita juga harus bangun lingkungan,” kata Gerry kepada Metropolitan, Senin (3/5). Permintaan uang ini tak tertuang dalam kesepakatan hitam dan putih. Namun setelah satu tahun berjalan, pihak perusahaan meminta pertanggungjawaban keuangan kepada pihak oknum kades tersebut. Bukannya transparansi yang didapat, malah oknum kades tersebut mengelak dan tidak pernah memberikan laporan penggunaan keuangan. Meski merasa keberatan dengan kelakuan oknum kades tersebut, Gerry mengatakan, pihaknya tidak berani melawan karena takut dipersulit ketika meminta perizinan untuk memperpanjang. ”Bukan cuma itu, ternyata uang yang kami berikan itu juga tidak sampai ke masyarakat. Karena saat kita tanya ke masyarakat, mereka mengaku tidak dapat apa-apa. Bahkan pembangunan pun tidak ada,” jelas Gerry. Proses pengambilan uangnya diungkapkan Gerry diambil aparatur desa ke setiap kendaraan yang terparkir di jalan. Jika dikalkulasikan, selama setahun rata-rata uang yang diberikan masing-masing perusahaan ke oknum kades sebesar Rp200 juta. ”Kalau delapan tahun kan berarti kira-kira Rp1,6 miliar. Itu baru dari satu perusahaan,” jelasnya. Oknum kades ini pun kini kembali terpilih di periode ketiganya. Gerry yang kini mewakili enam perusahaan tambang yang di antaranya PT Dian Purnawira Swasta, PT Sudamanik, PT Batu Tama, PT GMJI, PT Taruna Tangguh Mandiri dan PT Sinar Mandiri Mitra Sejati dihadapi persoalan pungli yang mulai dilegalkan dengan diterbitkannya Perdes Rengasjajar Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pungutan Desa, Perdes Rengasjajar Nomor 7 Tahun 2020 tentang Optimasi Program Pemberdayaan dan Perkades Rengasjajar Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan, Besaran Pungutan/Iuran Desa dan Optimasi PPM dan Kompensasi Perusahaan. Sebab, Gerry menjelaskan, dalam Perkades Nomor 8 Tahun 2020, pungutan yang tadinya sebesar Rp20 ribu, kini dinaikkan menjadi Rp100 ribu dan itu sangat memberatkan karena pihaknya juga harus membayar pajak kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 26 Tahun 2011 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dan Peraturan-peraturan Daerah lainnya yang terkait dengan usaha yang dijalankan kliennya. ”Ini jelas bahwa pihak desa telah melanggar Pasal 51 huruf (b) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan Kades dilarang untuk membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu,” jelas Gerry. Tak hanya itu, menurut Gerry, pembuatan peraturan ini dianggap cacat hukum karena tidak melalui prosedur yang seharusnya. Di mana tidak ada rekomendasi dari Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dan bupati Bogor. Ia dengan tegas mengatakan bahwa peraturan ini telah melanggar kepentingan umum dan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berada di atasnya. Sehingga ia meminta bupati Bogor sesegera mungkin melakukan evaluasi dan menggelar audiensi untuk membahas peraturan ini. Sebab, ia sendiri sudah mengirimkan surat ke Bupati Bogor Ade Yasin perihal masalah ini. ”Kalau permohonan kami tidak dijawab, maka kami akan proses ke tingkatan selanjutnya yaitu melalui meja hijau, atas adanya dugaan pungli dan penggelapan uang, karena kamu memiliki bukti pencatatan pengeluaran uang yang dipungut,” ujarnya. Terpisah, Sekdes Rengasjajar, Hafidin, mengungkapkan maksud dan tujuan dibentuknya Perdes dan Perkades ini. Ia menjelaskan bahwa sejak berdirinya perusahaan tambang, masyarakatnya tak pernah merasakan dampak positifnya. Bahkan, dana kemasyarakatan yang diterima warganya hanya sebesar Rp120 ribu per bulan setiap tahunnya. Sehingga dengan diterbitkannya perdes ini, ia mengungkapkan akan meningkatkan dana kemasyarakatan menjadi Rp1 juta per bulan setiap tahunnya dari biaya pungutan tersebut. ”Makanya lahirnya perdes ini hakikat dasarnya menyejahterakan masyarakat yang memang ada di warga Rengasjajar dan target-targetnya kita ada empat yang ingin kita capai,” ujarnya. Dengan diterbitkannya Perdes dan Perkades ini, banyak penolakan yang disampaikan pemilik perusahaan tambang. Padahal, proses penerbitan Perdes dan Perkades yang rencananya akan mulai diberlakukan pada 19 Mei ini sudah sesuai aturan. Bahkan sebelumnya ia sudah mengajak para perusahaan memberikan masukan terkait besaran pungutan yang tertuang dalam Perkades tersebut. ”Angka itu kita keluarkan untuk mendapatkan respons. Nah respons dalam arti apakah dalam angka tersebut tepat atau tidak, tapi tidak ada respons dari perusahaan, baik mengatakan iya atau tidak. Nah dari situ otomatis kita jalan saja karena tidak ada respons kita anggap iya saja,” pungkasnya.(dil/b/mam/py)