METROPOLITAN - Pengamat Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta, mendukung peringatan keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menggunakan politik identitas berbalut SARA dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Presiden Jokowi menegaskan, politik identitas sangat berbahaya bagi Indonesia. Sehingga politisasi agama serta SARA sebaiknya dihindari. Sebab di tengah ketidakpastian situasi ekonomi global, sehingga berpotensi menimbulkan bahaya besar. Karena itu, ia mendorong elite parpol dan calon presiden maupun calon wakil presiden melakukan deklarasi bersama menyatakan dalam kampanyenya tidak akan menggunakan politisasi SARA yang berbahaya bagi kehidupan bangsa. “Saya sepakat kalau misalnya aktor-aktor politik itu nanti berkumpul dan mengakhiri hal-hal yang bersifat negatif. Termasuk istilah tadi, cebong kampret sekarang munculnya kadrun, ini akan muncul terus polarisasi dengan stigma negatif bahkan arahnya dehumanisasi yang merendahkan martabat manusia,” ujar Stanislaus, Rabu (23/11/). “Saya sepakat perlu diadakan komitmen diadakan deklarasi bersama yang tidak menggunakan istilah-istilah yang mengarah pada dehumanisasi. Kalau misalnya ada seperti itu ya harus ada sanksi tegas,” sambungnya. Tak hanya itu, Stanislaus juga meminta dibuatkan aturan secara tegas, baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun peraturan undang-undang yang menyangkut soal politik identitas. Jika ada yang melanggar peraturan atau masih menggunakan cara-cara kampanye yang menimbulkan perpecahan akan disanksi secara tegas, dengan mendiskualifikasi pencalonannya atau dicabut hak memilih maupun hak untuk dipilih. “Sebaiknya ini diatur jangan hanya imbauan atau jangan hanya arahan. Harus diatur secara detail di peraturan KPU atau di undang-undang pemilu, misalnya tidak boleh melakukan politik yang mengakibatkan atau mengakibatkan pecah belah atau merendahkan martabat manusia,” jelasnya. “Nanti apakah kemudian kalau misalnya ada yang melakukan itu disanksi tidak boleh tidak punya hak pilih tidak punya hak pilih kan bisa diatur. Kalau hanya dilarang tapi tidak ada sanksinya ya orang akan melanggar terus,” tambahnya. Stanislaus menambahkan, politik identitas sebuah keniscayaan. Namun terpenting adalah mereduksi dampak buruk, seperti menimbulkan konflik dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. “Yang penting dampak yang harus direduksi jangan sampai politik identitas berdampak pada konflik massa dan jangan berdampak, sehingga merendahkan martabat manusia,” tegasnya. Stanislaus juga menilai politik identitas nyata dan berpotensi tetap digunakan saat Pilpres 2024 dan hanya dihentikan dua hal yakni aktor politik dan peraturan yang tegas. “Polarisasi nyata dan itu hanya bisa dihentikan dua pihak. Pertama adalah pelaku pemilu aktor-aktor pemilu dan kedua adalah dengan adanya peraturan dengan undang-undang atau peraturan yang sanksinya cukup tegas di undang-undang,” pungkas Stanislaus. (jp/feb/py)