METROPOLITAN - Begitu tiba, saya mendapati pintu kamarnya digerendel dari luar. Namun, saya melihat jendelanya terbuka. Lagi-lagi tanpa curiga, saya pun memasukkan tangan melalui jendela dan menyibakkan gorden kamarnya. Gorden pun seperti ditahan. Tidak lama, kepala Salim muncul di jendela. Dengan sekuat tenaga, saya kibas gorden hingga akhirnya saya mendapatkan pemandangan yang membuat saya terasa seperti dikubur hidup-hidup, sesak, marah, dan ingin berontak. Saya melihat pacar saya dalam keadaan tanpa busana dan seorang perempuan yang tengah berbaring juga dalam keadaan tanpa busana di ranjangngya. Di tempat yang sama ketika kami berbagi kasih dulu, kini di depan mata saya ada perempuan lain terlentang tanpa sehelai benangpun. Dengan suara keras, saya memaksanya untuk membuka pintu. Tidak bisa ditahan lagi, semua kata-kata kotor dan mengungkit masa lalu, begitu saja terlontar dari mulut saya. Sambil mengeluarkan makian, saya menyaksikan mereka mengenakan pakaian setelah bercumbu. Sakit dan marah jadi satu menguasai saya. Sempat keluar pembelaan dari mulut Salim pada saat itu, tapi kemudian mental karena kejadian ini memang bentuk pengkhianatannya pada cinta kami. Helm yang saya pegang pun akhirnya melayang ke kepalanya. Walaupun telah memukulnya dengan helm di tangan, rasanya sakitnya tidak bisa mengalahkan rasa sakit dan sesak yang saya rasakan. Saya puas melampiaskan amarah pada mereka tanpa ada perlawanan. Ya, mereka pasrah dan menerima semua kemarahan saya. Semua seolah sudah Salim rencanakan dengan rapi, dengan alasan pindah kos, menggerendel pintu dari luar, kemudian puas melampiaskan nafsu dengan perempuan lain. Tapi, ternyata insting perempuan yang kuat mendorong saya menghampirinya hingga akhirnya terbukalah kebusukannya. Hubungan kami yang baru berusia 7 bulan pun berakhir dengan menyakitkan malam itu. Dengan langkah gontai, saya meninggalkan mereka yang masih diam terpaku. Syok dengan pemandangan yang saya saksikan, konsentrasi saya buyar hingga kecelakaan pun tak bisa dihindari. (*)