Oleh: Pangeran Muhammad Negara
Tepat 73 tahun pasca diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Cikini, Jakarta Pusat, Indonesia, sebagai suatu negara masih belum mampu menunjukan perubahan yang signifikan dalam hal membangun peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari masa kolonialisme.
Jika kita melihat ke belakang, kedatangan bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1509 merupakan embrio kolonisasi di nusantara, kemudian tak lama berselang diikuti pula oleh orang-orang Inggris pada tahun 1579, 1586, dan 1811. Puncak penjajahan hadir saat Belanda datang pada tahun 1596 dan dilanjutkan dengan mendirikan persatuan dagang atau kongsi dagang yaitu Perkumpulan Dagang Hindia Timur yang dikenal dengan nama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602. Hingga pada akhirnya hegemoni Belandapun hancur saat bangsa Jepang datang ke nusantara ini pada tahun 1942.
Rentetan kedatangan bangsa asing ke Indonesia mendorong proses dialektika dengan hadirnya para pejuang nusantara sebagai anti-tesa melawan penjajah yang berusaha merampas kekayaan alam Indonesia. Segala upaya dilakukan oleh para pejuang demi mempertahankan wilayah dan kehormatan nusantara walaupun harus mengorbakan nyawanya.
Bagi mereka yang hidup di zaman itu, hanya ada dua pilihan yang harus mereka putuskan; mati terhormat di medan perang, atau hidup sebagai penjilat. Dan bagi mereka yang benar-benar sadar bahwa mereka adalah pemilik sah bumi nusantara ini, mati di medan perang lebih terhormat dibanding menjadi seorang penghianat.
Setalah berabad-abad berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme asing, akhirnya kemerdekaan 17 Agustus 1945 mampu menjadi akumulasi kebahagiaan atas tetesan keringat, darah, air mata para perjuangan untuk mempertahankan wilayah yang kaya ini.
Namun, menjadi suatu hal yang ironis saat sebagian besar masyarakat justru menilai bahwa kemerdekaan 17 Agustus adalah suatu akhir dari perjuangan, suatu tujuan yang memang bersifat final.
Hal tersebut sangat kontradikif dengan pandangan para founding fathers. Bagi mereka yang sudah berjuang memerdekakan negara ini, 17 Agustus 1945 merupakan pintu gerbang untuk masuk dan tenggelam dalam semangat mengimplementasikan seluruh butir Pancasila dan UUD 1945.
Artinya bahwa hakikat kemerdekaan sebagai jembatan antara yang menghubungkan penderitaan menuju kebahagiaan haruslah mampu direfleksikan dalam bentuk kebijakan pemerintah yang pro terhadap rakyat.
Jika berkaca pada situasi saat ini, perlu disadari bahwa peringatan 17 Agustus yang dilakukan setiap tahun cenderung hanya sebagai sesuatu hal yg bersifat prosedural saja. Indikator dalam melegitimasi pernyataan di atas adalah dengan melihat bahwa momentum 17 Agustus cenderung diisi oleh sekedar pemasangan bendera merah putih di setiap rumah dan di sepanjang jalan-jalan serta maraknya perlombaan-perlombaan tradisional yang syarat dengan teriakan-teriakan penyemangat.
Menjadi hal yang menyayat hati memang, ketika di tengah riuh gemuruh kemeriahan peringatan 17 Agustus justru masih terdapat banyak rakyat yang hidupnya di garis kemiskinan. Bahkan beberapa waktu lalu, tepatnya di Mausu Ane, Maluku Tengah, ada masyarakat yang kehilangan nyawanya akibat kelaparan.
Sejatinya, peringatan 17 Agustus dijadikan sebagai momentum oto kritik terhadap kinerja pemerintah. Pemerintah harus melakukan evaluasi atas segala kebijakan yang mereka keluarkan atas nama rakyat. Peringatan 17 Agustus haruslah dijadikan sebagai hari yang sakral dalam rangka mengukur sejauh apa kemerdekaan itu dapat berbanding lurus dengan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Sehingga apa yang sudah dikorbankan oleh para leluhur terdahulu sebagai pejuang kemerdekaan tidak menjadi suatu kesia-siaan yang tergerus oleh zaman. Karena apalah arti kemerdekaan jika masih ada tangis sakit, tangis lapar, dan tetes air hujan yang masuk ke dalam ruangan lalu membasahi gubuk-gubuk reot tanpa atap.
Oleh karena itu, kiranya kita semua harus sadar bahwa kemerdekaan yang saat ini kita rasakan adalah kemerdekaan yang semu dan harus diperbaiki, agar cita-cita para founding fathers dapat diimplementasikan sebagai suatu upaya merekonstruksi hakikat kemerdekaan guna menjadikan Indonesia sebagai negeri gemah ripah loh jinawi.