Banjir dan longsor yang menerjang Kota Bogor dalam sepekan jadi catatan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Seluruh aparat wilayah dikerahkan untuk mendata kembali sumber persoalan. Termasuk jumlah warga yang masih menempati titik yang berpotensi terjadi bencana susulan serta sejumlah drainase yang tidak berfungsi maksimal. SECARA blak-blakkan, Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, menjelaskan beberapa faktor penyebab bencana yang terjadi. Selain faktor global warming, kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan juga masih perlu ditingkatkan. Di Rumah Kreatif Metropolitan, Dedie menceritakan bahwa banjir lintasan yang menggenang jalanan akibat tertutupnya saluran drainase (saluran air, red). Ada yang tertutup sampah, ada pula yang sengaja ditutup warga karena disalahgunakan menjadi tempat berjualan. “Kebiasaan masyarakat itu adalah menutup saluran air. Ada yang pasang bambu buat bikin warung. Kita sudah bersihkan di Perumnas Pajajaran, sebagian besar kita bongkar,” ungkapnya Ke depan, pihaknya sudah meminta camat dan lurah menginventarisasi titik drainase yang berpotensi menimbulkan bencana atau berisiko bagi warga. “Kalau yang kita waspadai ada di Ciapus, kemudian drainase di Jalan Asogiri. Di situ air tidak masuk ke tanah, tapi tumpah ke jalan. Makanya kita coba normalisasi, sehingga ketika hujan dengan intensitas tinggi bisa kita minimalisasi banjir lintasan,” paparnya. Menurutnya, perlu adanya kesadaran kolektif untuk sama-sama menjaga alam. Ia mengaku miris dengan aksi warga yang memanfaatkan hujan deras untuk membuang sampah rumah tangga ke sungai. “Sungai itu sumber kehidupan. Kita jaga alam, alam jaga kita,”pesannya. Belum lagi, lanjut Dedie, warga masih ngeyel untuk tetap menggunakan lahan di pinggiran sungai sebagai tempat tinggal. Bahkan, Tembok Penahan Tanah (TPT) yang seharusnya berfungsi menahan tanah dari bahaya longsor justru digunakan warga untuk pondasi rumah. Padahal, kalau bicara tatanan ideal, seharusnya tak ada lagi warga yang tinggal di tebing atau membangun rumah di bantaran sungai. “Ini yang jadi PR kita bersama. Tentu saja penyelesaiannya harus secara holistik,” pintanya. Saat ini, tambah dia, Pemkot Bogor juga sudah menggalakkan Program Ciliwung Bersih yang berjalan rutin. Bahkan, Wali Kota Bogor, Bima Arya, sempat melakukan ekspedisi susur Ciliwung untuk memastikan kondisi sungai. “Sejak Program Ciliwung Bersih itu berjalan, indikatornya bisa langsung dilihat. Kalau Katulampa Siaga 1, ketinggian air di Jembatan Situduit mulai jauh, sekitar lima meter. Ini berbeda sebelum ada Program Ciliwung Bersih. Kalau Katulampa Siaga 1, jarak air sudah dekat dengan jembatan. Ini upaya kita membatasi sampah masuk ke sungai, tapi memang belum menyeluruh,” tuturnya. Selain itu, Dedie juga mengingatkan bahwa tidak semua sungai menjadi kewenangan Pemkot Bogor. Sebab, ada pula yang kewenangannya berada pada pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane dan Jawa Barat. “Kita bicara kewenangan, tidak semua kewenangan Pemkot Bogor. Sungai Cisadane dan anak Sungai Ciliwung itu kewenangan BBWSCC, di bawah kementerian. Untuk menanggulangi masalah besar itu, kita koordinasi dengan BBWSCC,” tandasnya. (*)