SURABAYA, Jawa Pos – Belum maksimalnya sistem logistik di Indonesia membuat kinerja ekspor tidak bisa optimal. Sebab, harga barang-barang menjadi tinggi dan daya saingnya rendah. Keresahan itu disampaikan Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi dalam rapat koordinasi nasional (rakornas) ALFI di Surabaya kemarin (30/7).
Di hadapan media, Yukki mengeluhkan banyaknya regulasi yang tidak mendukung industri logistik di Indonesia. Salah satunya adalah aturan tentang jam operasional truk pengangkut kontainer. Regulasi tersebut menghambat arus distribusi barang sekaligus memicu tinggi nya biaya logistik yang berdampak pada harga komoditas.
’’Potensi kerugian karena macet di jalan itu mencapai Rp 6 triliun tiap tahun,’’ kata Yukki. Macet yang dia maksud adalah terhentinya rantai distribusi karena jam operasional truk pengangkut kontainer di sejumlah daerah dibatasi. Kemarin Yukki meminta pemerintah merevisi regulasi yang dirasa merugikan pengusaha logistik tersebut. Apalagi, regulasi itu membuat para pelaku usaha terpaksa mengeluarkan biaya tambahan dalam rantai distribusi.
’’Jika masalah-masalah teknis ini diselesaikan, biaya logistik bisa ditekan sampai 5 persen,’’ ujarnya. Dampaknya, para investor akan lebih tertarik menanamkan modal mereka di Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Yukki menegaskan kembali pentingnya koneksi antara pusat bisnis dengan bandara dan pelabuhan. Dia berharap ada penghubung antara bandara dan pelabuhan dengan pusat usaha kecil dan menengah (UKM).
Dia juga mendorong seluruh anggotanya berkolaborasi dan saling terhubung. Dengan begitu, para pelaku usaha logistik dapat memberikan layanan lebih hemat. Yukki berharap kolaborasi dan kerja sama business-tobusiness (B2B) antar pengusaha itu bisa meningkatkan ekspor barang. Karena itulah, dalam rakornas kali ini, ALFI sengaja mengangkat tema Connectivity and Collaboration. ’’Kondisi usaha saat ini tidak lebih mudah daripada ta hun lalu,’’ tuturnya. (ell/c14/hep)