METROPOLITAN – Permintaan properti rumah tapak dinilai lebih diminati daripada permintaan properti hunian vertikal atau apartemen di wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Hal ini terpengaruh perbandingan harga beli yang bersaing antara kedua properti tersebut.
CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, mengatakan, tinggal di apartemen belum menjadi pilihan utama bagi konsumen. Harga apartemen rata-rata di wilayah kota penyangga terbilang masih tinggi dibandingkan harga rumah di wilayah tersebut yang notabene masih memiliki lahan yang cukup. ”Konsumen akan memilih apartemen apabila harganya diperkirakan sepertiga dari harga beli rumah,” tuturnya.
Berdasarkan catatan IPW, kebutuhan jenis properti yang terintegrasi dengan pusat transportasi umum atau Transit Oriented Development (TOD) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat perkotaan. Namun, harga apartemen yang ditawarkan pengembang di kota penyangga yang berkisar Rp500 jutaan hanya untuk tipe studio terkecil.
Hal ini menjadi perbandingan yang bersaing dengan harga jual rumah tapak dengan nilai jual rata-rata mulai Rp300 jutaan di wilayah tersebut. ”Semakin mahalnya apartemen yang ditawarkan pengembang di kota penyangga, maka tujuan untuk mengurangi backlog (kekurangan pasok, red) semakin menjauh,” tutur Ali.
Ali menuturkan, hal ini berbeda dengan dua tahun atau tiga tahun lalu saat harga apartemen di TOD masih ditawarkan dengan harga Rp250 jutaan—Rp300 jutaan dan pasar merespons dengan cukup baik. ”Pasar pembeli end-user tidak mampu lagi untuk menjangkau harga tersebut dan tergantikan dengan pasar investor yang membeli apartemen tersebut untuk kemudian disewakan lagi kepada para penyewa,” tuturnya. (bis/els/py)