entertaiment

Pesta Pernikahanku Berantakan, tapi Tetap Indah

Selasa, 15 Januari 2019 | 08:28 WIB

METROPOLITAN  - Dari kecil aku selalu berharap, di hari pernikahanku nanti sangat berkesan bagiku. Ada foto pra-wedding, souvenir pernikahan yang unik, konsep dekorasi yang dipenuhi bunga-bunga cantik, baju pengantin yang mena­wan, make up pengantin yang membuat ’pangling’ semua undangan, serta tak lupa undangan yang kece. Tapi apa? Pada kenyataannya, semua imajinasi tidak seindah drama Korea. Dan pernikahanku yang terjadi sekali seumur hidup itu justru penuh drama yang memilukan. Kalau diingat-ingat kadang aku masih suka sebel sendiri. Jadi ceritanya, lima tahun lalu saat aku memutuskan akan menikah dengan lelaki yang aku cintai semuanya serba dadakan. Suami meminta hari pernikahan, lima hari setelah lebaran Idulfitri karena di hari itu semua keluarga besarnya berkumpul sehingga bisa hadir semua di acara nikahan nantinya. Pihak keluargaku menyanggupinya, walaupun aku tahu dari pihak kami bakalan repot ampun-ampunan nantinya. Biar aku cerita tentang kerepotan kedua orangtuaku dulu, sebelum aku menumpahkan unek-unekku yang tiada habisnya ini. Aku anak keempat dari empat bersaudara. Ketiga kakakku laki-laki semua, mereka sudah menikah dan merantau semua, termasuk aku. Jadi otomatis di rumah hanya tinggal ayah dan ibuku saja. Dalam adat budaya Jawa, menikahkan anak perempuan itu sangat sakral dan harus ’wah’, nggak boleh sederhana doang. Jadi pertama-tama ibu kerepotan mencari tukang masak, secara itu masih bau-bau lebaran, siapa sih yang mau repot di rumah orang? Acara nikahan memang tanggal 5 setelah lebaran, tapi untuk masak-masak dan undangan yang datang kadang dimulai dari tanggal 3. Lalu ditambah lagi, mencari bahan baku untuk masak. Sudah kukatakan bahwa itu masih suasana lebaran, jadi pasar tutup dan semua pedagang masih merayakan euforia opor ayam dan biskuit kong ghuan. Dan yang lebih ekstrem lagi, semua bahan pokok mahalnya minta ampun saat itu. Masak bawang merah sekilo Rp60 ribu dari yang tadinya cuma 30 ribu doang dan daging sapi sudah sampai di angka Rp130 ribu perkilonya di tahun itu. Lalu bapak juga tak kalah pusing, harus mengurus kartu undangan serta mencari tukang nyinom para pemuda desa, lalu mencari penghulu yang mau datang ke rumah, serta meminjam perabot kas RT untuk acara resepsi. Semua itu dikerjakan bapak dan ibu sendiri. Aku sampai kasihan melihat mereka berdua yang sudah tua itu. (vem/suf)

Tags

Terkini