Senin, 22 Desember 2025

75% Penumpang Tolak Tarif Ojol

- Selasa, 7 Mei 2019 | 09:10 WIB

METROPOLITAN - Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), penerapan kenaikan tarif ojek online (ojol) sejak 1 Mei 2019 menggerus permintaan konsumen terhadap jasa ojol hingga 75 persen. Jumlah tersebut diproyeksi bisa berdampak negatif terhadap pendapatan pengemudi.

Peneliti Rised  yang juga ekonom dari Universitas Airlangga, Rumayya Batubara, mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 3.000 konsumen pengguna ojol yang tersebar di sembilan wilayah di Indonesia, tarif baru yang diatur pemerintah tidak mencerminkan tarif yang dibayar konsumen.

Berdasarkan kebijakan peraturan Kementerian Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 348 Tahun 2019 disebutkan, tarif atau biaya jasa yang tertera pada peraturan tersebut merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan menjadi lebih mahal mengingat terdapat tambahan biaya sewa aplikasi. “Jadi dalam peraturan itu, ada biaya tambahan sewa sebesar 20 persen tarif batas bawah yang dikenakan kepada konsumen.

Misalnya di Jabodetabek dikenakan Rp 2.500 per kilometer (km) tapi yang tertera di Kempenhub justru Rp 2.000 per km,” katanya. Dia menyebutkan, penerapan tarif baru tersebut juga berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya. Mengacu pada penelitian tersebut, jarak tempuh rata-rata konsumen 7-10 km per hari di Zona 1 yang meliputi wilayah Jawa nonJabodetabek, Bali dan Sumatera. Sedangkan Zona 2 di wilayah Jabodetabek rata-rata jarak tempuh mencapai 8-11 km per hari dan Zona 3 yang meliputi wilayah sisanya menempuh jarak rata-rata 6-9 km per hari.

Dari semua kriteria jarak tempuh yang ada dengan asumsi penerapan kenaikan tarif, pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp4.000-Rp11 ribu per hari di Zona 1, Rp6.000-Rp15 ribu di Zona 2, dan Rp5.000-Rp12 ribu di Zona 3. “Jadi, dengan adanya penambahan pengeluaran sebesar itu, ini akan ditolak 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk kenaikan Ojol maksimal Rp4.000-Rp5.000 per hari,” katanya.

Pendapat senada disampikan ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal. Fithra mengatakan, kenaikan tarif ojol menimbulkan konsekuensi penurunan potensi penumpang. Berdasarkan beberapa perbincangannya dengan pengemudi ojol, terdapat jumlah penurunan penumpang yang mereka dapatkan dari biasanya 17 orang penumpang, hanya mencapai 10 penumpang per hari. Terlebih, ada subsitusi moda angkutan yang lebih dulu eksis dibanding ojol seperti angkutan umum seperti bus dan angkot. Pertimbangan konsumen cenderung mengacu pada kemampuan tarif yang dapat mereka bayarkan.

“Kenapa mereka bisa beralih ke moda itu? Karena ada faktor substitusinya. Jadi mereka lebih baik nambah waktu daripada nambah bujet transportasi harian,” kata Fithra. Menurut dia, jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga menerapkan bisnis transportasi daring, pemerintah Indonesia belum siap menyiapkan pengembangan regulasi yang akurat. Dia mencontohkan, pemerintah Singapura sudah mulai mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk mempelajari digital law untuk mengatur sisi regulasi bisnis berbasis digital.

Sebab, kata Fithra, aplikasi ojol sejatinya bukan hanya menyangkut sisi bisnis transportasi semata. Terdapat banyak aspek yang melingkupi platform tersebut. Untuk itu, dia menyarankan kepada pemerintah segera mengevaluasi kebijakan penerapan tarif ojol yang berorientasi terhadap kesejahteraan pengemudi. (rol/els/py)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Update Harga Perak Hari Ini Minggu 21 Desember 2025

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:06 WIB
X