Kabupaten Bogor yang masuk dalam urutan kedua daerah memiliki dana mengendap di perbankan, mulai menuai kritikan dari berbagai unsur masyarakat. Fakta yang dirilis Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu) belum lama ini, menunjukan jika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor gagal dalam merumuskan program kerja secara riil atau to the point.
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, Kabupaten Bogor menjadi contoh nyata terkait permasalahan laten dalam hal penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia. Ketidakseriusan dan lambannya kinerja, biasanya dapat dilihat dari seberapa banyak anggaran yang parkir di perbankan.
Padahal menurut Uchok pemerintah daerah sudah jelas atas program prioritas yang harus dikerjakannya. Di antaranya seperti pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Kemungkinan, kata Uchok, Pemkab Bogor perlu diingatkan lagi dengan perkataan Presiden Joko Widodo terkait money follow program atau anggaran digunakan untuk program prioritas. “Jelas-jelas pemerintah daerah bekerja memprioritaskan infrastruktur dan pelayanan publik. Seharusnya tinggal direalisasikan. Tapi kenapa bisa seperti ini. Sepertinya Pemkab perlu diingatkan lagi dengan perkataan jokowi,” tegas Uchok.
Eks pentolan LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) ini menyindir jika pola pikir Pemkab Bogor tentang ekplorasi anggaran perlu diluruskan kembali. Karena, jangan-jangan Pemkab Bogor menganggap APBD sama halnya dengan harta atau uang pribadi. “Perlu diluruskan lagi paradigmanya (pola pikir). Khawatir mereka punya pemikiran lebih baik menyimpan di bank agar dapat bunga dibanding dibelanjakan untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bogor Yuyud Wahyudin menekankan, Pemkab Bogor dapat meminimalisasi dan mengoreksi sisa lebih perhitungan anggaran (silpa). Sebab, dana mengendap itu merupakan implikasi dari silpa APBD Kabupaten Bogor. “Yang jadi masalah kan sebetulnya karena nilainya yang besar. Makanya harus diminimalisasi, terutama silpa yang negatif,” singkatnya.
Sebelumnya diberitakan, DJPK Kemenkeu mencatat, per akhir Desember 2016, dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan mencapai Rp83,85 triliun. Khusus untuk pemerintah kabupaten, ada lima kabupaten dengan saldo simpanan terbesar di perbankan berdasarkan lokasi bank. Yakni Kabupaten Bandung Rp1,12 triliun, Kabupaten Bogor Rp833,2 miliar, Kabupaten Tangerang Rp825,4 miliar, Kabupaten Bekasi Rp764,7 miliar dan Kabupaten Tanahlaut Rp695,2 miliar.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor Adang Suptandar mengaku bahwa endapan itu memang sulit dihindari karena memang sudah ada di kas daerah. Apalagi uang itu merupakan cash budget daerah yang telah diprogram dan bisa dicairkan sesuai jadwalnya. Semisal, setiap tahun cash budget keluar pada triwulan I, II dan III. “Sudah terprogram seperti itu, saya juga mau tahu nih kemenkeu itu lihatnya dari mana. Tetapi yang jelas, banyak komponen dalam uang itu. Tak semata uang yang idle (diam, red),” kata Adang, belum lama ini. (rez/b/ram/dit)