metro-bogor

PDJT Terus Jadi Beban Pemkot

Sabtu, 4 Maret 2017 | 09:17 WIB

BOGOR – Buruknya pengelolaan Peru­sahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) meningkatkan beban anggaran Pemerin­tah Kota (Pemkot) Bogor. Meski sudah mendapat kucuran dana puluhan miliar rupiah, perusahaan pelat merah yang dipimpin Direktur Utama Krisna Kuncahyo itu terus merugi.

Menyikapi kondisi tersebut, Walikota Bogor Bima Arya berupaya mencari in­vestor yang akan berinvestasi di PDJT. Kehadiran investor diharapkan dapat memenuhi kebutuhan PDJT saat ini mau­pun ke depan. Namun sebelum meng­gandeng pemodal baru, Bima meminta DPRD Kota Bogor mengubah aturan tentang PDJT. Dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT).

“Jika aturan tersebut sudah diubah, baru investor bisa berinvetasi di BUMD tersebut dan kebutuhan PDJT bisa ter­tutupi. Sebab kalau menggunakan Biaya Tidak Terduga (BTT), kita sulit mencari dasar hukum­nya,” ujarnya kepada Metro­politan.­

Orang nomor satu di Kota Bogor ini bersama DPRD dan direksi PDJT masih mencari formulasi jitu untuk membay­ar dua bulan gaji 146 karyawan PDJT. Kebutuhan pembiayaan itu mencapai Rp900 juta. “Ma­kanya saya ingin DPRD segera melakukan revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang PDJT. Sehingga, permasalahannya segera selesai. Sebab, PDJT ini akan menjadi beban kita kalau tidak sehat terus,” terangnya.

Upaya melakukan efisiensi pengeluaran PDJT, Bima me­minta PDJT agar membatasi jumlah bus yang dioperasikan. “Karena PDJT ini bentuk pe­layanan publik, jadi harus tetap beroperasi. Tetapi dibatasi jumlah kendaraan yang bero­perasinya,” tegasnya.

Sementara itu, Pengamat Transportasi Yayat Supriatna menjelaskan, seharusnya di­reksi PDJT itu mampu mem­perbaiki layanan publik bukan hanya persoalan menjalankan angkutan umum saja, tetapi bagaimana menjalankan ma­najemen atau pengelolaan perusahaan yang baik. “Internal PDJT memang harus dibenahi dulu supaya pendapatan dan pengeluaran bisa seimbang. Kondisi PDJT sekarang malah timpang. Jadi, berapa pun uang yang diberikan PDJT tidak akan membuat perusahaan men­jadi sehat,” paparnya.

Dari laporan keuangan, terung­kap bahwa PDJT terlalu boros mengeluarkan biaya operasio­nal. Pengeluaran lebih besar dari setoran. Akibat kondisi keuangan yang tak seimbang, terpaksa tak semua bus dapat dioperasionalkan. Selain men­ekan biaya operasional, mana­jemen harus sanggup melaku­kan pembenahan di lingkup internal.

Pemkot pun siap mendukung dilakukan pembenahan secara internal di tubuh PDJT sehing­ga ada perbaikan sistem dari layanan publik menjadi usaha jasa. “Solusinya bisa dengan cara mengubah status badan hukumnya dari BUMD men­jadi PT agar PDJT bisa man­diri dan dapat melayani masy­arakat yang membutuhkan transportasi,” katanya.

Jika terjadi perubahan dari PD menjadi PT daerah seperti yang dilakukan Transjakarta, kata Yayat, harus ada kompo­sisi penyertaan saham dari luar. Karena itu, harus dikaji peraturan hukumnya dan di­dalami berapa jumlah modal untuk mengembangkan PT agar perusahaan semakin sehat.

Di sisi lain, keberadaan PDJT bersinggungan dengan ke­hadiran ojek online. Ketika layanan lebih memanfaatkan kecanggihan teknologi, pe­layanan bus TransPakuan masih konvensional sehingga cenderung ditinggalkan ma­syarakat. “Dirut PDJT harus memikirkan penggunaan tek­nologi online supaya arus keberangkatan tidak mem­buat masyarakat menunggu lama,” tandasnya.

Yayat juga mengimbau pe­manfaatan sistem aplikasi juga dapat dilakukan untuk men­gurangi banyaknya beredar tiket bodong. “Penggunaan aplikasi online kecurangan tiket bodong bisa ditekan,” pung­kasnya.

(mam/b/dik/run)

Tags

Terkini