BOGOR – Buruknya pengelolaan Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) meningkatkan beban anggaran Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Meski sudah mendapat kucuran dana puluhan miliar rupiah, perusahaan pelat merah yang dipimpin Direktur Utama Krisna Kuncahyo itu terus merugi.
Menyikapi kondisi tersebut, Walikota Bogor Bima Arya berupaya mencari investor yang akan berinvestasi di PDJT. Kehadiran investor diharapkan dapat memenuhi kebutuhan PDJT saat ini maupun ke depan. Namun sebelum menggandeng pemodal baru, Bima meminta DPRD Kota Bogor mengubah aturan tentang PDJT. Dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT).
“Jika aturan tersebut sudah diubah, baru investor bisa berinvetasi di BUMD tersebut dan kebutuhan PDJT bisa tertutupi. Sebab kalau menggunakan Biaya Tidak Terduga (BTT), kita sulit mencari dasar hukumnya,” ujarnya kepada Metropolitan.
Orang nomor satu di Kota Bogor ini bersama DPRD dan direksi PDJT masih mencari formulasi jitu untuk membayar dua bulan gaji 146 karyawan PDJT. Kebutuhan pembiayaan itu mencapai Rp900 juta. “Makanya saya ingin DPRD segera melakukan revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang PDJT. Sehingga, permasalahannya segera selesai. Sebab, PDJT ini akan menjadi beban kita kalau tidak sehat terus,” terangnya.
Upaya melakukan efisiensi pengeluaran PDJT, Bima meminta PDJT agar membatasi jumlah bus yang dioperasikan. “Karena PDJT ini bentuk pelayanan publik, jadi harus tetap beroperasi. Tetapi dibatasi jumlah kendaraan yang beroperasinya,” tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Transportasi Yayat Supriatna menjelaskan, seharusnya direksi PDJT itu mampu memperbaiki layanan publik bukan hanya persoalan menjalankan angkutan umum saja, tetapi bagaimana menjalankan manajemen atau pengelolaan perusahaan yang baik. “Internal PDJT memang harus dibenahi dulu supaya pendapatan dan pengeluaran bisa seimbang. Kondisi PDJT sekarang malah timpang. Jadi, berapa pun uang yang diberikan PDJT tidak akan membuat perusahaan menjadi sehat,” paparnya.
Dari laporan keuangan, terungkap bahwa PDJT terlalu boros mengeluarkan biaya operasional. Pengeluaran lebih besar dari setoran. Akibat kondisi keuangan yang tak seimbang, terpaksa tak semua bus dapat dioperasionalkan. Selain menekan biaya operasional, manajemen harus sanggup melakukan pembenahan di lingkup internal.
Pemkot pun siap mendukung dilakukan pembenahan secara internal di tubuh PDJT sehingga ada perbaikan sistem dari layanan publik menjadi usaha jasa. “Solusinya bisa dengan cara mengubah status badan hukumnya dari BUMD menjadi PT agar PDJT bisa mandiri dan dapat melayani masyarakat yang membutuhkan transportasi,” katanya.
Jika terjadi perubahan dari PD menjadi PT daerah seperti yang dilakukan Transjakarta, kata Yayat, harus ada komposisi penyertaan saham dari luar. Karena itu, harus dikaji peraturan hukumnya dan didalami berapa jumlah modal untuk mengembangkan PT agar perusahaan semakin sehat.
Di sisi lain, keberadaan PDJT bersinggungan dengan kehadiran ojek online. Ketika layanan lebih memanfaatkan kecanggihan teknologi, pelayanan bus TransPakuan masih konvensional sehingga cenderung ditinggalkan masyarakat. “Dirut PDJT harus memikirkan penggunaan teknologi online supaya arus keberangkatan tidak membuat masyarakat menunggu lama,” tandasnya.
Yayat juga mengimbau pemanfaatan sistem aplikasi juga dapat dilakukan untuk mengurangi banyaknya beredar tiket bodong. “Penggunaan aplikasi online kecurangan tiket bodong bisa ditekan,” pungkasnya.
(mam/b/dik/run)