METROPOLITAN – Selain masih buruknya infrastruktur pendidikan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor juga punya pekerjaan rumah untuk menggenjot partisipasi warganya ke sekolah.
Sesuai data yang dihimpun Balai Pengembangan Pembangunan dan Analisa Potensi Daerah Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat, Desa Sirnagalih, Kecamatan Jonggol menjadi wilayah yang memiliki Angka Partisipasi Kasar (APK) terendah se-Kabupaten Bogor. Baik itu dari tingkat SD maupun SMP.
Untuk tiga desa dengan APK SD terendah di bawah 80 persen se-Kabupaten Bogor di antaranya Desa Sirnagalih, Kecamatan Jonggol dengan nilai APK 17 persen. Lalu Desa Dago, Kecamatan Parungpanjang dengan nilai APK 65,51 persen serta Desa Bojongjengkol, Kecamatan Ciampea dengan nilai APK 74,83 persen.
Sedangkan untuk tiga desa dengan APK SMP terendah se- Kabupaten Bogor di antaranya Desa Sirnagalih, Kecamatan Jonggol dengan nilai APK 14,54 persen. Lalu Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin dengan nilai APK 23,07 persen da Desa Banyuresmi, Kecamatan Cigudeg dengan nilai APK 24,62 persen.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor TB Luthfie Syam tak membantah jika di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Nanggung, Sukamakmur dan beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor terbilang masih rendah. Namun, rendahnya APK di daerah tersebut salah satunya karena faktor infrastruktur yang belum berkembang pesat. “Dulunya belum terbuka dan terbukanya juga belum lama,” kata Luthfie.
Menurutnya, bukan hanya karena pembangunan yang baru dilakukan Pemkab Bogor saja yang menjadi faktor penyebab rendahnya APK di Kabupaten Bogor. Melainkan karena persoalan pendataan usia yang sudah tak produktif terkait penilaian APK. “Justru banyak terjadi di orang-orang yang bukan lagi di usia sekolah. Saya juga berani memastikan secara populasi bahwa yang dari usia sekolah hampir semuanya sudah bersekolah di usia SD, SMP hingga SMA. Problemnya di usia itu,” ucap dia.
Mantan kepala Satpol PP itu menambahkan, sebagian besar yang masuk tingkat partisipasi rendah merupakan warga yang sudah tak masuk usia sekolah atau sudah di atas usia 25 tahun. “Mereka yang dulu tinggal di daerah saat itu belum seterbuka kayak sekarang dan fasilitas pendidikannya juga belum banyak. Itu realita yang terjadi,” ujarnya.
(rez/b/els/ run)