METROPOLITAN – Kebijakan Sekolah Ibu yang digagas Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menuai prokontra belakangan ini. Berbagai kritikan dari anggota DPRD hingga elemen masyarakat terus bergulir. Terlebih soal payung hukum pengguna anggaran dan jumlah anggaran itu sendiri yang dianggap ‘wah’. Belum lagi kebijakan ini dianggap tumpang tindih dengan kebijakan yang sudah ada, seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau Program Keluarga Harapan (PKH). Menanggapi hal itu, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, hari ini bakal mengundang semua stakeholder kebijakan Sekolah Ibu untuk dilakukan evaluasi. Untuk mendengarkan semua aspirasi dan kririkan soal kebijakan yang bermula dari program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). “Akan didengarkan semua kritiknya, aspirasinya dan besok (hari ini, red) ada evaluasi,” kata Bima, kemarin. Meski begitu, Bima menginginkan semua kebijakan yang ada tetap berjalan, baik PKBM, PKH, hingga Sekolah Ibu sendiri. Menurutnya, harus tetap harus jalan dengan penguatan di berbagai elemen, seperti payung hukum atau alokasi anggaran. “Yang pasti kita akan evaluasi, saya akan mendengarkan kritik-kritik nya dimana saja. Itu kan disesuaikan dengan standar biaya, itu tidak ada alokasi honor dan sebagainya, tidak ada. Hanya semacam transport peserta, ini bahkan sangat kecil sekali. Nilainya kurang tahu berapa, detailnya di Bappeda,” ucapnya.
Pemerintah Kota (Pemkot), kata Bima, sering dikritik dan diminta untuk serius memperhatikan masalah-masalah sosial, seperti tingginya angka tawuran, narkoba dan perceraian. Ia menilai, Sekolah Ibu jadi upaya penguatan nilai di keluarga. “Tapi sekarang kita lihat kembali sistem penganggarannya, bagaimana angkanya. Kalau bicara urgensi, ini sangat perlu sekali, cuma kritiknya akan didengarkan semua,” paparnya.
Terpisah, Kepala Bidang Sosial Budaya dan Pemerintahan (Sosbudpem) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor, Rudiyana pernah menuturkan, program Sekolah Ibu didasari kolaborasi Pemkot Bogor dengan TP-PKK. Melihat kesuksesan Sekolah Ibu di tiga kelurahan yang sudah berjalan sebelumnya, yang terbukti menekan angka perceraian. “Selain itu, program tersebut juga sudah sesuai dengan enam skala prioritas yang ditetapkan dalam Perda Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD). Kalau soal pemkot menunjuk kecamatan dan kelurahan sebagai pengguna anggaran, hal itu terdapat dalam PP 17 Tahun 2018 tentang kecamatan. “Sekolah Ibu upaya sosialisasi program pemerintah. Itu juga takkan menambah kegiatan baru di kecamatan serta kelurahan,” kata Rudi. Dia menambahkan, program Sekolah Ibu di 2018 hanya akan melahirkan dua angkatan dengan biaya sebesar Rp20 juta perkelurahan per angkatan. Sudah termasuk honor instruktur sebesar Rp100 ribu perjam, dimana sekali pertemuan terdiri dari dua jam. Sebulan ada empat pertemuan. “Sedangkan uang saku kepada peserta hanya Rp15 ribu untuk transport, per-pertemuan, serta snek Rp10 ribu perorang” imbuhnya. Untuk 2019, lanjutnya, pemkot melalui usulan dari kecamatan akan menganggarkan Rp120 juta per kelurahan. Jumlah itu menurun dari rencana semula yang akan menggelntorkan dana Rp150 juta per kelurahan. Sebab, akan ada empat angkatan di 2019, sedangkan tahun ini baru satu angkatan. “Rinciannya tidak banyak berubah, hanya ada penambahan Rp15 juta per kelurahan untuk pembelian alat tulis kantor dan biaya snack ditambah menjadi Rp20 ribu dari sebelumnya Rp10 ribu untuk satu orang. Honor instruktur tetap sama Rp100 ribu pe rjam, dan uang saku peserta juga masih Rp15 ribu per pertemuan,” pungkasnya. (ryn/b/els)