metro-bogor

DPRD Coret Anggaran Sekolah Ibu

Rabu, 8 Agustus 2018 | 09:06 WIB

METROPOLITAN – Kebijakan Sekolah Ibu yang digagas Pemerin­tah Kota (Pemkot) Bogor terus menuai perhatian publik. Di antaranya terkait kejelasan payung hukum, output dan jum­lah anggaran yang di­anggap terlalu besar. Dalam pembahasan Badan Anggaran (Bang­gar) pada Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Plafon Ang­garan Sementara (KUA-PPAS) 2019, pimpinan DPRD Kota Bogor se­pakat menolak dan mencoret pengajuan anggaran program yang diang­gap bisa mengurangi angka tawuran, perceraian dan ke­kerasan rumah tangga itu. Wakil Ketua DPRD Kota Bo­gor dari Fraksi Golkar, Heri Cahyono mengatakan, para pimpinan wakil rakyat Kota Hujan itu sepakat menolak pengajuan anggaran Rp10 miliar untuk Sekolah Ibu yang diajukan Pemkot Bogor. Me­lihat dari tingkat kebutuhan­nya, anggaran untuk sekolah itu dianggap tidak menunju­kan keterpihakan terhadap pembangunan kesejahteraan warga Kota Bogor. “Kami cen­derung menyetujui anggaran yang pengaruhnya langsung terasa bagi kesejahteraan kota. Contoh, dana Rp10 mi­liar yang diajukan itu, bisa untuk kegiatan penghijauan, dukungan terhadap program Green City yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jang­ka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor,” katanya kepada awak media, kemarin. Ia melanjutkan, bisa saja anggaran itu dialokasikan untuk pengadaan mobil Am­bulance, untuk tiap kelurahan se-Kota Bogor. Kebutuhan itu dianggap lebih utama dan langsung berdampak di ma­syarakat. “Tidak sesuai dengan tujuan kesejahteraan Kota Bogor, terkesan mengham­burkan uang APBD saja,” ucapnya. Heri mengaku banyak men­dengar aspirasi dari wilayah, yang merasa dampak adanya Sekolah Ibu tidak terlalu sig­nifikan untuk pembangunan, karena dianggap tidak memi­liki target yang terukur. Ba­nyak program yang seharus­nya lebih diperhatikan dan mendapat realisasi bantuan atau dorongan dana dari Pem­kot Bogor. Senada, Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Gerindra, pemba­hasan KUA-PPAS saat ini tengah berjalan. Banyak hal yang menjadi pertimbangan ba­gian banggar sepakat untuk tidak menyetujui pengajuan anggaran Sekolah Ibu. Dian­taranya, tidak dilibatkannya Satuan Kerja Perangkat Dae­rah (SKPD) dalam mengelola pos anggaran Rp10 miliar itu. Malah, pos pengguna angga­ran diserahkan ke kecamatan, yakni camat dan lurah. Se­cara aspek yuridis, hal itu dianggap membingungkan. “Mengapa SKPD terkait, tidak dilibatkan. Kalaupun nanti dianggarkan, pos-nya kan bisa di Dinas Pendidikan (Dis­dik) atau Dinas Pemberday­aan Masyarakat, Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA). Jadi jelas, ada di­nas dilibatkan sepenuhnya sebagai pengelola anggaran,” paparnya. Program Sekolah Ibu ini, kata Sopian, masuk dalam ranah pendidikan. Maka pos anggaran lebih tepat jika be­rada di Disdik. Harus ada ukuran yang jelas soal kajian, kurikulum dan metodenya, karena masuk dunia pendi­dikan. “Harus jelas dulu itu. Intinya pimipan sepakat me­nolak,” tandasnya. Sementara itu, Kepala Bidang Pembinaan PAUD dan Pen­didikan Non Formal Disdik Kota Bogor, Uju Juyono menu­turkan, ada program yang harusnya juga mendapat per­hatian, yakni Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Saat ini, masih membutuhkan sarana prasarana, honor tutor hingga cakupan delapan stan­dar pendidikan. “Output serta proses pendidikan PKBM lebih jelas dan terintergrasi. Apalagi, ada target pemera­taan PKBM di tiap kelurahan, guna meningkatkan angka Rata Lama Sekolah (RLS), serta efektifitas pelayanan pendidikan masyarakat,” ka­tanya. Disdik mencatat, dari 39 PKBM ada, hanya 33 yang dinyatakan aktif proses Ke­giatan Belajar Mengajar (KBM). Dia menambahkan, kendala terbesar yang dihadapi dalam pengembangan PKBM dian­taranya, keterbatasaan jumlah tenaga pendidik (tutor), hing­ga minimnya sarpras dan kesejahteraan pelaksana. “Kami masih mengupayakan adanya kucuran bantuan bagi PKBM. Terutama insen­tif bagi para tutor. Lantaran mereka tidak mendapatkan sertifikasi selayaknya guru sekolah formal,” pungkasnya. (ryn/b/els/py)

Tags

Terkini