METROPOLITAN – Kebijakan Sekolah Ibu yang digagas Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor terus menuai perhatian publik. Di antaranya terkait kejelasan payung hukum, output dan jumlah anggaran yang dianggap terlalu besar. Dalam pembahasan Badan Anggaran (Banggar) pada Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2019, pimpinan DPRD Kota Bogor sepakat menolak dan mencoret pengajuan anggaran program yang dianggap bisa mengurangi angka tawuran, perceraian dan kekerasan rumah tangga itu. Wakil Ketua DPRD Kota Bogor dari Fraksi Golkar, Heri Cahyono mengatakan, para pimpinan wakil rakyat Kota Hujan itu sepakat menolak pengajuan anggaran Rp10 miliar untuk Sekolah Ibu yang diajukan Pemkot Bogor. Melihat dari tingkat kebutuhannya, anggaran untuk sekolah itu dianggap tidak menunjukan keterpihakan terhadap pembangunan kesejahteraan warga Kota Bogor. “Kami cenderung menyetujui anggaran yang pengaruhnya langsung terasa bagi kesejahteraan kota. Contoh, dana Rp10 miliar yang diajukan itu, bisa untuk kegiatan penghijauan, dukungan terhadap program Green City yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor,” katanya kepada awak media, kemarin. Ia melanjutkan, bisa saja anggaran itu dialokasikan untuk pengadaan mobil Ambulance, untuk tiap kelurahan se-Kota Bogor. Kebutuhan itu dianggap lebih utama dan langsung berdampak di masyarakat. “Tidak sesuai dengan tujuan kesejahteraan Kota Bogor, terkesan menghamburkan uang APBD saja,” ucapnya. Heri mengaku banyak mendengar aspirasi dari wilayah, yang merasa dampak adanya Sekolah Ibu tidak terlalu signifikan untuk pembangunan, karena dianggap tidak memiliki target yang terukur. Banyak program yang seharusnya lebih diperhatikan dan mendapat realisasi bantuan atau dorongan dana dari Pemkot Bogor. Senada, Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Gerindra, pembahasan KUA-PPAS saat ini tengah berjalan. Banyak hal yang menjadi pertimbangan bagian banggar sepakat untuk tidak menyetujui pengajuan anggaran Sekolah Ibu. Diantaranya, tidak dilibatkannya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam mengelola pos anggaran Rp10 miliar itu. Malah, pos pengguna anggaran diserahkan ke kecamatan, yakni camat dan lurah. Secara aspek yuridis, hal itu dianggap membingungkan. “Mengapa SKPD terkait, tidak dilibatkan. Kalaupun nanti dianggarkan, pos-nya kan bisa di Dinas Pendidikan (Disdik) atau Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA). Jadi jelas, ada dinas dilibatkan sepenuhnya sebagai pengelola anggaran,” paparnya. Program Sekolah Ibu ini, kata Sopian, masuk dalam ranah pendidikan. Maka pos anggaran lebih tepat jika berada di Disdik. Harus ada ukuran yang jelas soal kajian, kurikulum dan metodenya, karena masuk dunia pendidikan. “Harus jelas dulu itu. Intinya pimipan sepakat menolak,” tandasnya. Sementara itu, Kepala Bidang Pembinaan PAUD dan Pendidikan Non Formal Disdik Kota Bogor, Uju Juyono menuturkan, ada program yang harusnya juga mendapat perhatian, yakni Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Saat ini, masih membutuhkan sarana prasarana, honor tutor hingga cakupan delapan standar pendidikan. “Output serta proses pendidikan PKBM lebih jelas dan terintergrasi. Apalagi, ada target pemerataan PKBM di tiap kelurahan, guna meningkatkan angka Rata Lama Sekolah (RLS), serta efektifitas pelayanan pendidikan masyarakat,” katanya. Disdik mencatat, dari 39 PKBM ada, hanya 33 yang dinyatakan aktif proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Dia menambahkan, kendala terbesar yang dihadapi dalam pengembangan PKBM diantaranya, keterbatasaan jumlah tenaga pendidik (tutor), hingga minimnya sarpras dan kesejahteraan pelaksana. “Kami masih mengupayakan adanya kucuran bantuan bagi PKBM. Terutama insentif bagi para tutor. Lantaran mereka tidak mendapatkan sertifikasi selayaknya guru sekolah formal,” pungkasnya. (ryn/b/els/py)