METROPOLITAN – Rencana pembangunan double track (jalur rel ganda) di sepanjang jalur kereta api Bogor-Sukabumi kembali mencuat. Apalagi setelah ada pertemuan antara Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jawa Barat bersama Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat dengan stakeholder di Cigombong, Kabupaten Bogor, kemarin. Mereka membahas kepastian daerah-daerah yang terdampak pembangunan rel ganda. Tak hanya di Kabupaten Bogor, di Kota Bogor pun tercatat ada beberapa wilayah, yang warganya tinggal di pinggir jalur kereta Sukabumi-Bogor itu. Paling banyak di Kecamatan Bogor Selatan, yakni Kelurahan Cipaku, Empang, Batutulis, Rancamaya dan Genteng. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, hingga kini belum ada laporan yang masuk ke Pemkot Bogor, soal rencana pembangunan jalur rel ganda. Sehingga ia pun belum ada rencana untuk datang dan melihat kondisi warga yang tinggal di pinggir rel tersebut. “Saya pengen dapat laporan dulu, baru ada tindakan. Jadi belum ada rencana,” kata Bima saat ditemui Metropolitan, di Balai Kota, kemarin. Pria 45 tahun ini menambahkan, belum ada komunikasi dan sosialisasi dari PT KAI soal progres pembangunan itu. Buatnya, yang terpenting ada komunikasi yang baik dengan warga, jadi tidak serta-merta menggusur saja. Namun ada win-win solution. “Jadi PT KAI komunikasi dengan kita, dengan wilayah, untuk sosialisasi dengan warga. Progresnya? Belum ada sosialisasi apapun, kita tunggu saja,” ucapnya. Menanggapi pertemuan di Cigombong tersebut, warga di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, yang tinggal di pinggir rel, dan bakal terdampak pembangunan rel double track, mengaku hingga kini belum ada pemberitahuan apapun dari PT KAI. Dalam bentuk sosialisasi maupun pemberitahuan melalui surat edaran. Sebagian besar warga memang bingung dan saling bertanya-tanya soal kepastian pembangunan rel ganda itu. ”Warga juga bingung jadi apa tidaknya,” kata Unen warga RT 4/2 Kelurahan Batutulis. Dia menjelaskan, untuk Kelurahan Batutulis, ada sekitar ratusan rumah terdampak yang berada dilahan PT KAI, dari dua RW, yakni RW 8 dan RW 9. ”Paling banyak di RW 9,” imbuhnya. Warga yang sudah lebih dari 20 tahun menempati wilayah itu pun merasa was was, jika tiba-tiba ada penggusuran dipemukiman mereka. Padahal, sejak awal tinggal, ada perjanjian dengan PT KAI untuk menempati lahan tersebu. ”Kalau di bilang, saya sih ada, karena dari bayar pajak PBB juga ada. Warga udah ditanya sama saya, gimana kalau kebongkar. Warga jawabnya habis gimana lagi,” ujarnya. Menurutnya, sebelumnya ada perjanjian di atas materai dengan PT KAI, untuk penggunaan lahan tersebut. Sebagian warga ada yang memiliki, sebagian lagi tidak. ”Ada perjanjian di atas materai sbgaian memiliki sbagian lagi tidak memiliki, karena ada beberapa warga syaa kurang tahu persisnya berapa warga, yang sudah membayar PBB di masing-masing kelurahan,” ucapnya. Uang yang dibayarkan warga pun bervariasi, mulai dari Rp30 ribu, Rp40 ribu, Rp60 ribu, hingga ratusan ribu, tergantung luasan rumah yang ditempati. ”Bayar PBB setahun sekali, ada malah yang seratus ribu lebih. Tapi memang warga sekarang bukan memikirkan itu, mikirin ganti ruginya bagaimana, lalu mau kemana kalau nanti digusur,” kata warga Cipaku, Yadi. (ryn/b/els)