METROPOLITAN – Habisnya masa jabatan Direktur Utama (Dirut) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor, Dewi Basmala, pada April 2019 meninggalkan sedikit catatan hitam pelayanan rumah sakit pelat merah tersebut. Mulai dari perbedaan pelayanan hingga penolakan pasien pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan pasien non-BPJS hingga sulitnya mendapatkan ruang rawat inap bagi pasien Unit Gawat Darurat (UGD).
Berdasarkan data yang dihimpun Metropolitan, pada Februari 2018 seorang pasien pengguna jaminan kesehatan kota terpaksa tak bisa pulang oleh pihak RSUD. Ini dikarenakan pasien diharuskan mengubah statusnya dari pasien BPJS menjadi pasien umum dengan membayar biaya perawatan senilai Rp10 juta. Ketua KNPI Kecamatan Tanahsareal, Rudi Zaenudin, mengatakan, saat itu jika pasien tidak membayar sejumlah uang, maka harus digantikan dengan membawa surat berharga sebagai jaminan ke rumah sakit. “Rumah sakit pemerintah tapi melebihi swasta kejamnya. Akhirnya STNK mobil saya yang digunakan untuk membantu warga,” kata Rudi. Menanggapi hal itu, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bogor, Ibnu Hasani, mengatakan, perbedaan pelayanan pasien RSUD Kota Bogor sudah melanggar aturan yang berlaku. “Semua bentuk pelayanan rumah sakit itu sudah diatur UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Kalau seperti ini namanya melanggar aturan,” tegasnya. Pria yang akrab disapa Ben itu menjelaskan, di Poin C undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pasien diharuskan memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur serta tanpa diskriminatif. Secara umum pasien terbagi dua kategori, yakni pengguna BPJS dan non-BPJS. “Rumah sakit harusnya bersikap adil tanpa membeda-bedakan segi pelayanan. Semua itu telah diatur standar profesi dan prosedur yang berlaku,” ujarnya. Ia menilai pelayanan buruk menjadi noda hitam tersendiri bagi rumah sakit milik pemerintah itu.(ogi/c/yok/py)