METROPOLITAN - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2023 masih menjadi sorotan. Sebab terkesan buru-buru mengejar deadline bahkan dikeluhkan Badan Pembuat Peraturan Daerah (Bapemperda) yang disebut melewatkan prosedur semestinya.
Tak hanya itu, kini anggota dewan hanya punya waktu dua hari untuk merampungkan perda mercusuar tersebut. Sebab, tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017, jika wali kota/bupati menetapkan rancangan perda tentang RPJMD kota/kabupaten yang sudah dievaluasi gubernur menjadi perda RPJMD, paling lambat enam bulan setelah pelantikan kepala daerah. Artinya, RPJMD 2018-2023 harusnya bisa diparipurnakan paling lambat 30 Mei.
Selain itu, dalam aturan tersebut tercantum sanksi apabila pemerintah daerah tidak melakukan penetapan RPJMD sesuai waktu yang ditentukan, ada sanksi administrasi tidak dibayar hak keuangan selama tiga bulan. Belum lagi, 30 Mei bertepatan dengan hari libur nasional, sehingga penetapan seharusnya bisa terselenggara besok. “Ada sidang paripurna terdekat, Insya Allah dilaksanakan Rabu (29/5), hanya sidang paripurna penetapan RPJMD 2018-2023,” kata Sekretaris DPRD Kabupaten Bogor Nuradi.
Terpisah, Ketua Pemantau Komite Legislatif (Kopel), Anwar Razak, menilai pembahasan RPJMD yang terhitung singkat seharusnya menjadi perhatian bersama, karena ditengarai tidak ada pembahasan matang dan melibatkan publik. Padahal, inti sebuah perda berkualitas jika memenuhi aspek kepentingan publik. Namun, perumusan RPJMD kali ini dianggap tidak banyak melibatkan peran publik. Belum lagi raperda RPJMD yang diduga tidak melewati tahapan bahasan di Bapemperda, sehingga sang ketua mengeluh karena merasa belum ada bahasan soal RPJMD.
“Tahu-tahu sudah penyampaian. Padahal itu bisa cacat prosedural, UU juga menjamin (partisipasi publik) di DPRD, seharusnya sih buka kembali bahasan, minta masukan dari publik, caranya bisa konsultasi publik, tetap dibuka itu apapun bentuknya,” tandas Anwar.
Menanggapi hal itu, Wakil Bupati Bogor Iwan Setiawan mengaku aneh dengan anggapan perda RPJMD 2018-2023 tidak masuk ke bapemperda, karena perda itu merupakan urusan mercusuar pemerintahan yang tidak mungkin dilupakan pemerintahan. Dia pun menantang anggota dewan yang keberatan dengan proses raperda RPJMD ini untu sama-sama membedah tahapan-tahapan yang sudah dilewati.
“Silakan cek saja, kita bedah, bisa tanya ke sekwan (Sekretaris DPRD, red). Saya yakin itu ada. Banmus saja ada, kalau nggak ada mah berarti pemerintah lama baru belajar, kan 2019 ada pergantian kepemimpinan. Mungkin ada miskoordinasi saja, masa nggak ada,” ungkap Iwan.
Sebelumnya, penyampaian Raperda RPJMD 2018-2023 pertengahan Mei lalu, menuai reaksi Bapemperda lantaran dianggap menyalahi prosedur, sehingga berpotensi cacat hukum jika nanti disahkan.
Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Bogor, Usep Syaefulloh, mengatakan, Pemkab Bogor melalui Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappedalitbang) disebut melangkahi dasar hukum UU Nomor 5 Tahun 2011 Pasal 17 tentang Penyusunan dan Pembuatan Raperda.
“Proses prosedural itu nggak ditempuh eksekutif. Padahal dalam aturan saat akan menyampaikan raperda, disampaikan dulu ke Bapemperda, lalu dibahas dan dikaji. Ketika selesai keluar rekomendasi layak atau tidak. Ini nggak, tadi kita sampaikan ini ada yang salah,” katanya saat ditemui Metropolitan di ruang kerjanya.
Ia pun menyampaikan agar raperda tersebut dikaji dan ditarik terlebih dulu agar prosesnya benar dan sesuai aturan. Jika tidak atau tidak ada rekomendasi dari Bapemperda, maka implikasinya tidak main-main. Payung hukum yang nanti diterbitkan menjadi cacat hukum. Politisi PAN ini meminta Bappedalitbang sebagai leading sector bertanggung jawab memperbaiki proses. Jangan semata-mata karena mengejar deadline, tidak dilakukan secara prosedural.(ryn/c/yok/py)