METROPOLITAN – Sejak akhir 2018, pengerjaan proyek jalan layang atau fly over Jalan Martadinata mulai dikerjakan. Sejak saat itu pula, Nuraeni dan keluarga harus rela makan debu dan bising karena pekerjaan yang terlihat langsung di depan mata. Tak cuma itu, ahli waris juga belum mendapatkan uang penggantian untuk pembebasan lahan terdampak proyek Rp97 miliar tersebut. Setahun berselang, uang penggantian belum juga didapat. Bahkan, keinginan untuk sekadar bertemu orang nomor satu di Kota Bogor sepertinya cuma jadi angan-angan.
Saat sidak pengerjaan flyover Martadinata beberapa waktu lalu, Wali Kota Bogor, Bima Arya, bahkan berdiri di atas lahan terdampak dan melihat dengan jelas spanduk kekecewaan yang dipasang Nuraeni dan keluarga bertuliskan ’Lahan Bukan Sengketa, Pembayaran Gusuran Belum Terselesaikan’. Sembari melihat dari kejauhan, ia berharap inohong Kota Hujan itu datang dan menghampiri. Nyatanya hal itu urung terjadi. Nuraeni dan keluarga pun cuma bisa gigit jari lantaran keinginan mereka tidak terwujud.
”Ujung-ujungnya memang harus di Pengadilan. Ketemu juga bagaimana? Uang ganti rugi sudah ada di pengadilan, mereka harus buktikan bahwa yang bersangkutan itu ahli waris sah. Tapi nggak bisa. Sepengetahuan kita itu mereka ada sengketa waris,” terang Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, kepada awak media.
Dedie berharap pihak keluarga bisa segera membuktikan siapa yang lebih berhak menerima agar uang konsinyasi yang sudah dititipkan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bogor bisa segera dicairkan. ”Supaya selesai, kan kita ingin pembangunan untuk warga Bogor. Kita dukung, makanya kita jalankan semua sesuai proses. Kita serahkan secara hukum lah,” ujarnya.
Perwakilan ahli waris, Nuraeni, menyayangkan sikap wali kota yang sama sekali tidak mendatangi keluarga saat sidak. Padahal, mereka semua keluar rumah agar diperhatikan para pimpinan. ”Sayangnya itu nggak dilirik. Padahal saat itu kami ke luar rumah dan berharap beliau lihat kami dari kejauhan lalu turun ke rumah menghampiri kami. Tapi nyatanya nggak tuh. Padahal, kita juga lihat mereka saat itu,” katanya.
Padahal, Nuraeni bersama keluarga sangat ingin bertemu orang nomor satu se-Kota Bogor itu untuk mempertanyakan berbagai keluhan soal belum selesainya urusan penggantian lahan saat proyek dari pemerintah pusat itu selesai 40 persen. Ia ingin menjelaskan bahwa tanah yang dimiliki keluarganya bukan lahan sengketa, seperti informasi banyak beredar.
“Ini belum tuntas, kami hanya ingin ngobrol dengan wali kota. Infonya di media, beliau bilang tanah saya sengketa. Di spanduk sudah jelas, tanah kami bukan (tanah) sengketa,” jelasnya.
Termasuk soal kenapa anggaran untuk penggantian lahan terdampak proyek jalan layang itu belum juga diambil dari pengadilan yang sudah dikonsinyasikan dari Pemkot Bogor. Dengan nada frustasi, ia merasa dipingpong berbagai instansi saat mengurus soal pengambilan uang konsinyasi itu.
“Wali kota nggak tahu yang sebenarnya, kendalanya di mana, harusnya tanya dong ke yang punya lahan, sowan gitu. Dipingpong dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) ke pengadilan, ke dinas, balik lagi, seperti itu. Nanti kalau ada wali kota turun ke sini akan saya beberkan semua kendala uang gusuran belum juga cair,” bebernya.
Sekadar diketahui, pada ketetapan dari PN Bogor melalui surat Nomor 15/Pdt.P.Cons/2016/PN.Bgr bahwa tanah atas nama Ayadi di Jalan RE Martadinata, RT 06/06, Kelurahan Kebonpedes, Kecamatan Tanahsareal, mendapatkan ganti rugi uang atas tanah seluas 190 meter persegi Rp1.140.000.000 dan bangunan senilai Rp91.300.000 yang terdampak pembangunan flyover di Jalan RE Martadinata.
“Total uang penggantiannya Rp1,23 miliar. Itu juga kami tidak keberatan. Karena itu yang hitung dinas ya, kami sih nggak,” tuntasnya. (ryn/c/yok/py)