METROPOLITAN - Wali Kota Bogor, Bima Arya, menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk ’Provinsi Baru Penyangga Jakarta’ di Graha Pena Jawa Pos, Kebayoran Lama Jakarta, Kamis (29/8).
Orang nomor satu se-Kota Bogor itu meluruskan informasi yang berkembang di masyarakat dan berbagai media terkait pembentukan Provinsi Bogor Raya.
Diskusi dipandu Kepala Kompartemen Metropolitan Koran Jawa Pos Susilo, juga dihadiri perwakilan Provinsi Jawa Barat, Pemimpin Redaksi Jawa Pos TV Irwan Setiawan dan awak redaksi Jawa Pos.
”Ini bukan tentang proposal pembentukan Provinsi Bogor Raya. Tidak seperti itu. Konteksnya sebagai wali kota, saya harus mengantisipasi perkembangan wilayah bukan saja lima tahun ke depan, tapi 10-30 tahun ke depan,” katanya.
Sekarang ini, sambung Bima, Jabodetabek secara keseluruhan jumlah penduduknya lebih dari 30 juta jiwa atau megacities kedua terbesar di dunia setelah Tokyo. Bahkan, ada yang sudah membaca ini sudah melewati Tokyo karena Jepang pertumbuhan penduduknya stagnan. Sementara Jabodetabek bertambah terus. Sehingga pertumbuhan penduduknya semakin tinggi, sejalan dengan persoalan terkait lahan juga semakin kompleks.
“Maka harus ada yang dibaca ke depan. Kalau sebagai wali kota berpikiran sempit, nggak perlu pusing pikirkan itu. Tapi kan tidak begitu. Saya harus pikir juga untuk jangka panjang. Kenapa? Karena saya membaca tren pertumbuhan penduduk Bogor yang diprediksi akan mencapai 1,5 juta jiwa,” ungkapnya.
Menurut dia, wacana pertama yakni perluasan wilayah, yang sebetulnya bukan wacana baru. Pada 1995, Kota Bogor pernah meluas mengambil beberapa wilayah Kabupaten Bogor yang disahkan Perpres. “Dulu rumah saya, yang sekarang saya tinggali itu KTP saya KTP Kabupaten Bogor. Tapi karena perluasan wilayah jadi wilayah kota,” ucap pria 46 tahun itu.
Akhir-akhir ini, kata dia, pun banyak yang menyuarakan hal yang sama. Ada usulan beberapa wilayah di Kabupaten Bogor, sebaiknya masuk Kota Bogor karena memudahkan koordinasi dalam pelayanan dan lain-lain. Dari situ muncul opsi-opsi lain.
“Ibu Bupati (AdeYasin) menyampaikan kepada saya, dari dulu sebenarnya ada wacana Provinsi Bogor Raya. Ini disuarakan Pak Rahmat Yasin (RY), bupati waktu itu. Ada logikanya juga di situ. Jadi saya bilang ini menarik wacananya, coba nanti kita diskusikan kembali. Tapi berkembanglah kemudian seolah-olah yang mengajukan wacana itu saya,” terang Bima.
Lalu, media melempar sampai ke Bekasi, sehingga muncul opsi untuk gabung Jakarta. Ia mengaku opsi itu ada benarnya, karena urusan banjir, macet, pihaknya lebih banyak koordinasi dengan Pemprov Jakarta, alih-alih kepada Pemprov Jawa Barat. “Karena konektivitas. Apalagi nanti kalau ada LRT,” tambahnya.
Opsi lain, lanjut Bima, Bogor tetap masuk Jawa Barat tapi ada mekanisme yang berbeda dalam hal koordinasi wilayah dalam konteks ini Jabodetabek. Hal ini sempat diutarakan Mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Menurutnya, ini paling rasional.
“Jabodetabek ini tidak pernah beres koordinasinya dari dulu. Tumpang tindih. Setiap saat Jakarta bisa saja mengeluarkan kebijakan yang merugikan Bogor. Misalnya Bus APTB, dari Bogor bisa langsung ke Jakarta terintegrasi Bus Transjakarta. Ini nggak ada koordinasi dengan kami sama sekali. Belum lagi banjir dan lain-lain. Jabodetabek ini wilayah yang sangat sangat strategis tapi administrasinya seadanya. Padahal yang namanya greater Tokyo diurus aturan khusus. Lihat juga bagaimana greater London, greater New York,” bebernya.
Ketika Yos mengusulkan itu, Bima mengaku sangat setuju. Ada usulan badan otoritas khusus Jabodetabek. Yos dulu usulannya menteri khusus Jabodetabek, karena payung hukumnya jelas, anggarannya juga jelas.
Untuk itu, semua opsi tersebut akan dikaji secara akademis dengan menggandeng Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University.