METROPOLITAN - Sejak digaungkan di masa periode pertama kepemimpinan Wali Kota Bogor Bima Arya, kebijakan rerouting dan konversi angkutan perkotaan (angkot) menjadi bus, dianggap solusi terbaik menata transportasi masal Kota Hujan. Tujuh tahun berjalan, kebijakan ini masih mandek dan jalan ditempat.
Hingga kini Pemkot Bogor masih terus memutar otak mencari solusi penataan transportasi. Merubah dan menambah beberapa trayek melalui rerouting, menjalankan konsep Transpakuan Koridor (TPK). Kini, di periode kepemimpinan kedua, konsep-konsep yang sudah ada dipastikan mentah lagi karena 'mulai dari nol'.
Selain itu, kini badan hukum yang membawahi moda transportasi masal nantinya, dituntut untuk mencari pendanaan sendiri, untuk pengadaan angkutan hingga operasional.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor Rakhmawati mengatakan, konsep yang akan digunakan kedepan sangat bergantung pada kajian yang sedang dilakukan konsultan Prancis, soal moda transportasi apa yang cocok di Kota Bogor. Mengingat, jika berbicara konversi, seharusnya sejak 2012 sudah jalan,artinya ada kemunduran sekitar tujuh tahun.
"Makanya kita tunggu hasil kajian itu, baru persiapan selanjutnya. Misalnya Kota Bogor cocok untuk trem atau monorel, nah kelihatan disitu, kita siapkan anggaran di 2020 untuk kajian pendukung dari hasil yang nanti keluar," katanya saat ditemui Metropolitan di Balai Kota Bogor.
Selain itu, sambung dia, Kementrian Perhubungan (Kemenhub) sudah menganggarkan untuk berbagai kajian hingga Feasibility Study (FS) transportasi di daerah. Hanya saja, itu tergantung dari cocok tidaknya moda transportasi yang masuk dalam anggaran pemerintah pusat. "Mereka kan global, kalau cocok dikasih ke kita, kalau enggak, ya dioper ke daerah lain. Sedangkan kita kan hanya kajian saja, feedernya gimana, modanya seperti apa. Yang pasti kajian kita itu dianggarkan di 2020," paparnya.
Ia juga menyinggung soal kegagalan konversi angkot menjadi bus sedang, yang dianggap tidak bisa dipaksakan dalam kondisi sekarang. Untuk reroting, sudah ada beberapa trayek ditambah atau penyesuaian, sehingga konsep itu sudah jalan. Namun tidak untuk kebijakan konversi yang mandek.
"Alasannya banyak, salah satunya konversi itu butuh biaya yang cukup mahal. Sementara kebijakan subsidi juga kan nggak keluar-keluar, nggak jelas. Jadi sekarang kita coba badan hukum untuk cari uang sendiri," ujar Rakhmawati.
Jalannya, kata dia, bisa kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan yang sudah maju dan kompeten, menggunakan konsep B to B. Ia berharap ini bisa berhasil. Ketika sudah jalan dan menghasilkan, baru penekanan kepada subisidi.
"Kita coba nggak pakai subsidi. Badan hukum juga bebebrapa kali bertemu, ada yang sudah siap. Tapi persoalannya juga nggak gampang. Karena mereka harus hitung-hitungan dulu, untung gak buat mereka. Yang jelas ini paling realistis sekarang, daripada nunggu subsidi yang nggak jelas," tuturnya. (ryn/c/yok)