metro-bogor

Polemik Nikmatnya Cukai Rokok

Senin, 14 Oktober 2019 | 09:21 WIB

METROPOLITAN - Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor 12 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dinilai cacat hukum. Selama 10 tahun pelaksanaan perda tersebut, Pemerintah Kota Bogor lalai dalam menyediakan ruang khusus bagi perokok. Di sisi lain, Pemerintah Kota Bogor masih menerima pendapatan dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCT).

Demikian diungkapkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Ali Rido saat menghadiri Dialog Publik bertajuk “Ada Apa Dibalik AP-CAT, Perda Bukan Alat Menggalang Donasi Asing ” di Kota Bogor, akhir pekan lalu.

Ali menyebut, Perda KTR di Kota Bogor berpotensi cacat hukum. Menurutnya, Perda tersebut hanya merujuk pada peraturan pemerintah nomor 109 tahun 2012, sementara pada Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009, tidak begitu jelas pasal yang mengatur persoalan kawasan KTR.

Eksekutif tidak sadar tentang konteks ratifikasi itu harus dengan undang-undang dulu, tidak boleh langsung dropping ke dalam PP. Perda pada prinsipnya harus mencirikan satu hal, yakni aspek sosiologis yang itu erat kaitannya dengan kearifan lokal yang ada di suatu daerah, ” ujarnya.

Ali pun mengkritisi penyelenggaraan Asia Pacific Cities Aliance for Tobbaco Control and Prevention on Noncommunicable Diseases Summit (AP-CAT Summit) beberapa waktu lalu. Menurut Ali, konvensi internasional dapat diberlakukan ataupun diadopsi ke dalam regulasi di dalam peraturan perundangan-undangan, setelah negara melakukan ratifikasi.

Yang saya tahu Framework Convention on Tobacco Control (FCTP) itu baru ada usulan naskah akademik untuk dilakukan ratifikasi oleh Indonesia. Pengusulnya Komnas HAM. Tapi sampai sekarang tidak ada follow up-nya seperti apa. Belum meratifikasi, maka kalau kemudian ada dropping langsung konvensi internasional ke dalam jenis PP dan perda itu jelas sudah menyalahi, ” kata Ali.

Sementara itu, Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Muhammad Nur Azami menyoroti peraturan daerah kawasan tanpa rokok (Perda KTR) yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 tentang perubahan atas Peraturan Daerah nomor 12 tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok bertentangan dengan Peraturan pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Nur menilai, Pemerintah Kota Bogor naïf karena mengklaim pendapatan mereka bebas dari industri termbakau. Padahal, Kota Bogor juga menikmati Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCT).

Wali Kota Bogor Bima Arya ini kadang naif, selalu berbicara bahwa Kota Bogor bebas dari pendapatan yang sumber-nya itu dari industri hasil tembakau padahal sebenarnya kalau misalnya kita lihat di peraturan menteri keuangan dalam hal pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCT) itu Kota Bogor mendapatkan dana sampai dengan Rp 4 miliar untuk 2019," ujar Azmi.

Menurut Azmi, pendapatan dari DBHCT mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yakni Rp 3 miliar. Sumber pendapatan dari hasil industri tembakau didapat dari komponen sebatang rokok yang didalamnya terdapat cukai pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dan pajak pendapatan negara (PPN).

"Dari cukai dan PDRD ini ditransfer dari pusat, nanti akan dialokasikan ke daerah termasuk juga Kota Bogor, karena Kota Bogor kan masih boleh menjual rokok masih ada produk hasil tembakaunya, ” kata Azmi. (pr/yok/py)

Tags

Terkini