Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bogor dikabarkan tengah membidik koruptor dana bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang diduga dilakukan oknum tak bertanggung jawab. Sebab, bantuan pemerintah berkisar Rp600 ribu hingga Rp500 ribu itu tidak sampai secara utuh di tangan penerima manfaat. INFORMASI yang dihimpun Metropolitan, pemotongan sendiri berkisar Rp25-100 ribu per penerima manfaat. Anggaran yang dipotong merupakan bantuan dari Pemerintah Pusat, Pemprov Jabar hingga Pemkot Bogor yang dialokasikan senilai Rp500 hingga Rp600 ribu. Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejari Kota Bogor, Cakra Yuda, menjelaskan, pihaknya sudah mendapat kabar terkait adanya pelanggaran dalam pendistribusian Bansos Covid-19 di Kota Hujan. Namun selama tidak ada paksaan, maka belum bisa dipastikan jika kasus ini masuk ranah korupsi. ”Selama tidak ada paksaan dan sukarela belum bisa disebut korupsi,” kata Cakra saat dikonfirmasi Metropolitan, kemarin. Meski begitu, menurut Cakra, jika di suatu wilayah bantuan itu dipotong oknum, tapi masyarakat menerima, maka itu perlu didalami kembali kaitan siapa yang memiliki niatan terlebih dulu untuk melakukan tindakan tersebut. ”Kalau ada oknum yang memotong bantuan langsung, tapi masyarakat menerima, tentu ini yang perlu kita dalami. Siapa yang punya niatannya. Saat ini juga Tim Saber Pungli sedang turun ke lapangan melakukan elisitasi,” ujarnya. Sementara, sambung Cakra, lain soal jika ada oknum RT maupun RW yang langsung memotong bantuan untuk masyarakat. ”Lain cerita kalau langsung dipotong oknum tanpa sepengetahuan masyarakat. Ini bisa masuk kategori korupsi,” tegasnya. Di sisi lain, Wali Kota Bogor, Bima Arya, mengungkap temuan praktik yang tidak baik dalam penyaluran dana Bansos Covid-19 di wilayahnya. Praktik tersebut dilakukan dengan tidak memotong dana bansos, namun warga memberikan uang tip kepada petugas pemberi bantuan. ”Jadi, sejauh ini saya belum dapat laporan soal penyelewengan. Tapi bentuk korupsi kecil itu misalnya, ketika mereka dapat bantuan mereka semacam memberikan uang kepada pihak yang membantu mereka mengurus itu,” ungkap Bima dalam diskusi daring bertema ’Cegah Korupsi di Tengah Pandemi’ pada Sabtu (9/5). Menurutnya, hal itu diduga menjadi kebiasaan yang kerap dilakukan warga Kota Bogor. Karena warga yang menerima bantuan merasa sungkan bila tidak membagi atau memberikan tip kepada petugas. ”Sebagai contoh, ada warga dikasih Rp500 ribu. Lalu warga itu memberi Rp25 ribu kepada yang ngirim atau ke yang mendata,” terang Bima mencontohkan. Meski tidak ada paksaan, sambung Bima, cara itu masuk ranah korupsi. Untuk itu, Bima telah mengultimatum siapa pun yang memotong dana bansos warga akan ditindak sesuai proses hukum. ”Kemarin saya sudah panggil lurah, akhirnya saya panggil semua camat dan lurah bahwa tidak boleh ada pemberian dari penerima atau permintaan dari yang mengurus, kalau ada ya bisa dipidana,” tegasnya. Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor pun menerbitkan Surat Edaran Wali Kota Bogor Nomor 440/161-Bag Pem. Dalam surat itu terdapat tiga poin penting yang disampaikan wali kota kepada pemerintah wilayah, mulai dari RT, RW, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) hingga unsur pendukung lainnya. Pertama, menginstruksikan kepada pemerintah wilayah dan jajaran kelembagaan masyarakat lain di wilayah kelurahan untuk tidak meminta jasa, imbalan, apalagi melakukan pungutan kepada masyarakat penerima bantuan dalam bentuk apa pun. ”Dalam bentuk apa pun tidak boleh,” kata Bima. Kedua, meminta jajaran pemerintah wilayah untuk segera melaporkannya kepada pihak berwenang apabila mendapati ada dugaan penyelewengan, penyalahgunaan jabatan hingga pungutan kepada masyarakat penerima bantuan. Ketiga, mengimbau seluruh pemerintah wilayah agar dalam melaksanakan tugas pendistribusian logistik dan bantuan dilakukan secara ikhlas, penuh dedikasi dan bertanggung jawab. Sehingga penanganan wabah Covid-19 bagi masyarakat terdampak bisa segera tertangani. Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Satgas Covid-19 DPRD Kota Bogor, Akhmad Saeful Bakhri (ASB), menilai bahwa surat edaran yang dikeluarkan Pemkot Bogor merupakan bentuk reaktif pemerintah atas kasus yang merebak. Kebijakan itu seharusnya diambil jauh hari sebelum proses pendistribusian bantuan JPS dilaksanakan. ”Penguatan seluruh aparat wilayah di tingkat RT dan RW seharusnya sudah dilaksanakan jauh-jauh hari. Jadi, semua sudah satu semangat dan pemahaman yang sama. Jangan setelah ada kejadian baru bergerak. Mungkin kalau tidak ada kasus ini, tidak akan ada tuh surat edarannya,” katanya. Apabila surat edaran itu dikeluarkan jauh sebelum pendistribusian, ASB menyatakan bahwa semua otomatis akan mempunyai frame yang sama. Mulai awal pendataan, proses pengusulan anggaran, pendistribusian, pengendalian dan pelaporan. ”Standar operasional pendistribusian dari masing-masing tahapan itu sangat penting untuk menjamin program dari hulu sampai hilir. Ini penting untuk menjamin pelaksanaan JPS berlangsung tepat sasaran, tepat proses dan tepat pelaporan. Jadi intinya, apa yang dilakukan Pemkot Bogor soal surat edaran itu sangat telat,” paparnya. Terpisah, Sekretaris Jenderal Puslitbang Pelatihan dan Pengawasan Kebijakan Publik (P5KP), Rudi Zaenudin, meminta pemerintah melalui aparatur wilayah memperketat pengawasan terhadap pendistribusian bantuan. ”Pengawasan harus dilakukan secara ketat dengan melibatkan Tim Saber Pungli. Jangan sampai ada oknum yang tidak bertanggung jawab mengambil kesempatan dalam kesempitan,” pungkasnya. (dil/ogi/c/rez/py)