METROPOLITAN - Anggota MPR dari FPKS, Habib Fahmy Alaydroes, mengingatkan pentingnya memahami Pancasila secara utuh, baik dan benar. Pemahaman Pancasila dengan baik itu penting agar tidak menimbulkan kegaduhan dan kekacauan dalam bernegara. Pancasila bukan musuh agama. Pancasila bisa diterima seluruh agama. Bahkan, penerimaan Pancasila dalam Islam lebih kental dari agama-agama lain. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, sejalan dengan surat Al-Ikhlas ayat 1: ”Katakanlah Dia lah Allah Mahaesa.” Sila Kedua: Kemanusian Yang Adil dan Beradab, sejalan dengan Surat Annisaa ayat 136: ”Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu.” Sila Ketiga: Persatuan Indonesia sejalan dengan Surat Al-Hujurat ayat 13: ”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” Sila Keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan sejalan dengan Surat Asy-Syuraa ayat 38: ”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Juga sejalan dengan Surat Ali Imran ayat 159: ”Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sejalan dengan Surat An-Nahl ayat 90: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” ”Lalu, apa yang akan kita pertentangkan antara Islam dengan Pancasila?” kata Fahmy. Pancasila sejalan dengan Islam. Di samping itu, Habib juga mengingatkan sejak lama umat Islam Indonesia memiliki hubungan yang sangat baik dengan negaranya. Bahkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan warisan dari jihad ulama dan umat Islam. Karena itu, menurut Habib Fahmy, umat Islam harus aktif mengisi kemerdekaan sebagai bentuk syukur kepada Allah dan terima kasih kepada ulama, dengan cara ikut aktif berpartisipasi dalam pembangunan serta mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman perpecahan. ”Sungguh disayangkan jika sampai sekarang masih ada umat Islam yang menganggap bahwa kehidupan demokrasi itu haram, pemilu juga haram karena tidak dipraktikkan di zaman Nabi. Padahal, mereka itu juga ”menikmati” produk demokrasi. Misalnya UU, mereka menggunakan UU sebagai payung organisasi mereka. Mereka menggunakan pasport, KTP, uang kertas bahkan jasa perbankan yang itu semua tidak dijumpai di masa Rasulullah,” kata Habib. Pernyataan itu dikemukakan Fahmy saat menyampaikan Sosialisasi Empat Pilar di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, pada Selasa (25/5). Selain itu, Habib Fahmy menambahkan, keserasian hubungan antara umat muslim dengan negaranya kerap diusik kelompok masyarakat yang tak ingin melihat keserasian hubungan antara umat Islam dengan negaranya. Mereka adalah kelompok Islamophobia. ”Mereka mengira antara Islam dan Indonesia tidak ada hubungan apa pun. Itu terjadi karena mereka melupakan sejarah, melupakan pesan Bung Karno Jas Merah, jangan melupakan sejarah,” kata Habib. Padahal, umat Islam dan Indonesia memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kalangan Nahdliyin misalnya, orang NU tidak boleh melupakan kiprah besar K.H. Hasyim Asy’ari, dengan resolusi Jihad. Karena gerakan ini mampu mengobarkan semangat santri dan arek-arek Surabaya melawan penjajah Belanda, yang melahirkan perlawanan 10 November. ”Mereka tidak memikirkan upah dan jasa. Yang ada dalam benaknya adalah berjihad membela bangsa dan negara dari penjajahan, meski nyawa taruhannya,” pungkas Habib.(*)