metro-bogor

Atty Somaddikarya Sebut Koperasi Bodong Luput dari Sorotan Pemerintah

Rabu, 29 September 2021 | 11:10 WIB
Anggota DPRD Kota Bogor Atty Somaddikarya. (Dok. pribadi)

METROPOLITAN - Kope­rasi merupakan wadah bagi sekelompok orang yang me­miliki tujuan mengubah mind­set diri menjadi pribadi yang mandiri dan berdikari secara ekonomi. Dalam asas kope­rasi, tertanam adanya nilai gotong-royong bukan tanggung renteng. Gotong-royong dan tanggung renteng memiliki dasar teori yang hampir sama, akan tetapi tidak sama bahkan tidak sesuai dengan praktiknya. Asas koperasi yang digagas Bung Hatta lebih menjunjung tinggi asas kekeluargaan. Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Karya Mandiri, Atty So­maddikarya, menuturkan, salah satu contoh gotong- roy­ong di koperasi yakni adanya pinjaman macet lantaran keadaan yang tidak memun­gkinkan akan dihibahkan dengan syarat ketentuan yang berlaku atas kebijakan dan keputusan di Rapat Anggota Tahunan (RAT). “Kemacetan pembayaran yang terjadi menjadi tanggung jawab koperasi karena ada Sisa Hasil Usaha (SHU). Untuk itu, tidak ada cerita anggota yang macet dalam hal pem­bayaran dikenakan denda dan sanksi,” katanya. Apalagi dipaksa untuk mem­bayar dan ditagih dengan cara-cara yang tidak manu­siawi dan menarik sebuah barang yang sebagai jaminan atas pinjaman. Sementara itu, koperasi me­miliki konsep menyejahterakan bukan malah sebaliknya yang akhirnya menyulitkan anggo­tanya. “Selain itu, koperasi juga memberikan edukasi untuk menggeser budaya meminjam. Terlebih pada pinjaman yang instan, bahayanya meminjam pada rentenir, pinjaman online yang abal-abal dengan bunga yang tinggi. Ini hanya akan men­jerat dan membuat masyarakat miskin semakin miskin. Bahkan lahirnya masyarakat miskin baru,” beber Atty. Atty menambahkan, edu­kasi yang gencar pada masy­arakat terus dilakukan. Kope­rasi memberikan pemahaman pada Masyarakat Berpengha­silan Rendah (MBR) untuk memulai kebiasaan menabung menjadi sebuah budaya. “Jadi, ketika anggota mengajukan pinjaman sebagai hak anggota di koperasi harus punya niat yang baik untuk mengembali­kan kewajibannya atas hak yang diterima, karena apa? Hak yang ia terima bersumber dari ta­bungan anggota,” tuturnya. Menurut Atty, sistem tang­gung renteng yang saat ini marak di masyarakat, khusus­nya di Provinsi Jawa Barat, dengan modus pinjaman ‘ber­kedok’ modal usaha bagi kaum pelaku usaha dengan konsep membentuk kelompok masy­arakat (pokmas) dianggap tidak mengedukasi. “Mereka kumpulkan warga terdiri dari 5 sampai 10 orang dalam satu kelompok. Ketika salah satu anggota pokmas mengajukan pinjaman modal usaha dan terjadi kemacetan akan ditanggung anggota yang lain. Konsep pinjaman ini be­lum jelas apakah memakai konsep koperasi atau bende­ra lembaga keuangan yang berbadan hukum,” jelasnya. Atty menambahkan, jika konsep yang marak terjadi memakai bendera koperasi sangat tidak diharapkan oleh pendiri koperasi Indonesia. “Sebab apa? Ini lebih condong pada konsep komersil yang mengedepankan keutungan besar yang menjerat kaum marhaen dengan bunga ting­gi,” bebernya. Atty menilai bunga yang di­tentukan berkisar di angka 20-25 persen per tahun. Atty menyebutkan jika dengan tajuk modal usaha, pada kenyataan­nya tidak 100 persen menyasar pada pelaku di daerah. “Malah kucuran pinjaman tersebut turun kepada ibu rumah tang­ga yang belum jelas sumber penghasilannya,” ujarnya. Praktik seperti ini, sambung dia, akan memperburuk citra koperasi jika memakai bende­ra koperasi. “Yang lebih parah saat ini banyaknya koperasi umum yang mati suri di ber­bagai daerah di Indonesia. Ditambah banyaknya kope­rasi yang gagal bayar dan ko­perasi bodong yang luput dari sorotan pemerintah. Akhirnya dampak dari arus tersebut merugikan masyara­kat yang turut menjadi ang­gotanya,” terangnya. Atty menjelaskan, koperasi yang sehat mampu mencip­takan lapangan pekerjaan pada kaum perempuan mela­lui pelatihan hingga pembe­rian modal usaha tanpa bunga. “Seharusnya menyejahterakan, sekarang yang ada dan mem­buat saya sangat prihatin ada­lah perempuan ibu rumah tangga menjadi korban atas penawaran yang menggiurkan dari orang-orang yang sudah dilatih sebagai marketing yang ditarget satu lembaga atau perusahaan,” bebernya. “Mereka yang terlatih blusu­kan masuk wilayah-wilayah kaum marhaen. Ini praktik jeruk makan jeruk yang akan menggeser asas koperasi yang seharusnya hadir dan ada un­tuk kesejahteraan malah mem­bunuh secara perlahan kebe­radaan koperasi. Prinsip-prin­sip untuk menjadi perempuan pandaringan khususnya di tatar Sunda bukan terbangun malah tergerus oknum-oknum perusak pola pikir,” tuntasnya. (ryn/eka/py)

Tags

Terkini