berita-utama

Perempuan Pemimpin (1)

Senin, 29 Januari 2018 | 08:33 WIB

-
Dalam hidup ini Allah SWT menciptakan alam seisinya dengan sangat sempurna. Semua dirancang dan dikendalikan sesuai dengan tata hukum. Penciptaannya berupa keteraturan yang terancang. Bukti dari semua itu adalah diciptakannya segala sesuatu dengan berpasang-pasangan. Ada baik dan buruk, panjang pendek, tinggi rendah, jauh dekat, laki-laki perempuan. Semua itu merupakan bukti kesempurnaan.

Perbedaan tersebut bukanlah hal untuk membedakan. Perbedaan itu tidak sekedar permainan kata-kata belaka. Tapi, sebuah hal yang harus dipahami. Karena dengan perbedaan itulah segala kebaikan muncul. Laki-laki dan perempuan keberadaannya sangat menentukan perkembangan dunia ini. Khususnya perempuan, sosok yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang ini mempunyai potensi dan kekuatan yang begitu besar.

Alquran juga menyebut bahwa perempuan dan laki-laki setara derajatnya di hadapan Allah (Q.S. Al-Hujurat (49): 13), (Q.S. An-Nahl (16): 97). Perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi (Q.S. An-Nisa (4): 124), (Q.S. An-Nahl (16): 97). Perempuan dan laki-laki sama-sama diperintah untuk berbuat kebajikan (Q.S. At-Taubah (9): 71).

Dari ayat-ayat di atas, para ulama berkesimpulan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan dan mensejajarkannya dengan laki-laki. Oleh karena itu, terkait polemik kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin yang mencuat kembali seiring tibanya tahun politik membuat saya tergelitik lagi untuk membaca berbagai referensi dan merangkumnya dalam catatan kali ini.

Dalam hal ini, yang menjadi persoalan adalah mengenai cara memahami hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang menyatakan bahwa: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” [HR. al-Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ahmad]

Para ulama NU dan Muhammadiyah dalam memahami hadist yang diriwayatkan Abu Bakrah ini dengan pemahaman yang kontekstual, tidak terpaku pada teks (pemahaman secara harfiah). Para ulama memahami hadist tersebut dari semangat dan ‘illat-nya (kausa hukum) sebagaimana kaidah usul fikih:

الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

Artinya: “Hukum itu berlaku menurut ada atau tidaknya ‘illat.”

Sedangkan ‘illat dari pernyataan Rasulullah SAW itu adalah kondisi perempuan pada waktu itu belum memungkinkan mereka untuk menangani urusan kemasyarakatan, karena ketiadaan pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan pada zaman sekarang sudah banyak perempuan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai urusan tersebut.

Para ulama juga memahami hadist dari sisi asbab al-wurud (sebab-sebab munculnya hadis) dan juga melihat hadits ini dari sisi yang lain. Sebab hadist ini tidak dapat dipahami berlaku umum. Hadist ini dikaitkan dengan konteks saat Rasulullah SAW mensabdakannya.

Sementara jika memperhatikan asbab al-wurudnya, hadist ini sendiri ditujukan Nabi kepada peristiwa pengangkatan putri penguasa tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan ayahnya yang meninggal. Bagaimana mungkin hadist tersebut dapat dipahami bahwa semua penguasa tertinggi yang berkelamin perempuan pasti mengalami kegagalan, sementara Alquran menceritakan betapa bijaksananya Ratu Saba’ yang memimpin negeri Yaman sebagaimana dalam surat an-Naml (27): 44

Oleh sebab itu, para ulama NU dan Muhammadiyah mengkontekstualisasikan kerelevanan hadits tersebut dengan realita yang ada pada zaman sekarang. Tentu realita kehidupan pada zaman Nabi Muhammad SAW dengan zaman sekarang memiliki perbedaan yang cukup jauh terlebih mengenai permasalahan perempuan. Dapat diketahui bahwa perempuan zaman sekarang memiliki kemampuan yang hampir sama dengan laki-laki sekalipun secara fisik dan psikis tentu memiliki perbedaan sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 34.

Dalam beberapa kitab, baik ulama khalaf maupun salaf hampir sebagian besar dari mereka mengacu kepada pemahaman teks secara harfiah (tekstual) terhadap hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah di atas, di antara mereka adalah as-Sayid Sabiq (Fiqh as-Sunnah, jilid 3, hlm. 315) dan as-Shan`ani (Subul as-Salam, hlm. 123). Bahkan di antara mereka ada pula yang menyimpulkan bahwa pemimpin perempuan hukumnya haram berdasarkan hadist Abu Bakrah.

Namun, pemahaman tekstual seperti ini menurut ulama NU dan Muhammadiyah untuk kondisi saat ini tidak selamanya benar. Sebab dalam memahaminya tidak mempertimbangkan dimensi waktu dan ruang yang bisa membuat suatu hukum itu berubah sebagaimana kaidah usul fikih:

Halaman:

Tags

Terkini