berita-utama

Lebih Menyiksa dari Sakit Jantung (2)

Senin, 12 Februari 2018 | 09:12 WIB

-

Dokter Madinah ini bergegas menyiapkan alat-alat pemeriksaan jantung di kanan kiri tempat tidur saya. Perekaman jantung dimulai. Stetoskop dipindah-pindah: dari dada kiri, dada kanan, bagian-bagian di perut dan punggung. “Jantung Anda prima. Baik sekali,” ujar dokter setelah membaca print out rekaman jantung. “Anda ini tidak apa-apa. Anda boleh kembali ke hotel,” ujar dokter tersebut.

Kata-kata dokter itu diucapkan dengan nada tertentu. Seperti menyalahkan saya, memojokkan saya. Sok tahu kena serangan jantung. Bikin ruangan bising. Bikin semua perawat sibuk.

Meski dipojokkan begitu, saya lega jantung saya ternyata dalam kondisi prima. Menjadi pasti sakit saya ini…..bukan serangan jantung. Berarti tidak akan mati mendadak. Tapi sakit apa?

Saya tidak mau meninggalkan rumah sakit. Nafas saya masih sesak. Masih tersengal. Posisi badan pun masih serba salah. Serba sakit. Dada masih nyeri. Punggung masih sakit. Perut masih terasa sangat penuh. Saya menolak pergi dari RS. Tapi saya tidak panik lagi. Sudah lebih tenang. Sudah ada penegasan saya tidak kena serangan jantung. Tidak akan segera menyusul Kyai Ridlo Tafsir, sepupu saya itu. Tapi saya ini sakit apa?

Saya pun menceritakan asal usul apa yang terjadi sebelum sakit ini. Dokter mau mendengarkan. Lalu memeriksa lebih teliti perut saya. Rupanya dia melihat perut saya memang bergejolak. Akibat makanan-makanan yang dengan rakus saya lahap sepanjang pagi itu.

Dokter tidak lagi memaksa saya meninggalkan rumah sakit. Saya benar-benar tidak kuat menahan sesak nafas, nyeri dada, sakit punggung dan perut yang sesek. Sebagai gantinya dokter minta suster untuk menyuntik saya morphin. Dua kali suntikan. Untuk menghilangkan semua rasa sakit itu.

Saya pasrah saja.

Azrul menawari saya apakah ingin minum minuman hangat. Misalnya coklat panas. Untuk selingan agar tidak terus meneguk air putih. Saya mengangguk. Tatang, menantu saya lari mencari coklat panas.

Setelah coklat segelas kecil saya teguk habis dokter bertanya: minum apa itu? “Coklat,” kata Azrul. Dokter pun marah.

Saya tidak boleh makan atau minum apa pun kecuali air putih. Pencernaan saya harus diistirahatkan setelah tadi padi terlalu banyak macam-macam isi.

Dua kali suntikan morphin itu ternyata tidak mempan. Sakit-sakit itu tidak terasa berkurang. Saya terus berbising. Tidak tahan. Akhirnya dokter memberi isyarat kepada perawat. Sambil menggerakkan tangan, sambil mengedipkan mata. Isyarat untuk memberikan suntikan rahasia. Saya bisa menduga isyarat rahasia itu: disuntik obat tidur.

Benar saja, perawat mengambil alat suntik. Tanpa memberitahu obat apakah itu. Langsung menyuntikannya. Saya tahu. Itu obat tidur.

Saya pasrah.

Hanya saja obat tidur itu juga tidak bisa membuat saya tidur. Rasa sakitnya melebihi kekuatan obat tidurnya. Tapi saya tidak punya kekuatan untuk bising lagi. Saya lemas. Sakitnya tetap, tapi lemas.

Halaman:

Tags

Terkini