berita-utama

Lebih Menyiksa dari Sakit Jantung (2)

Senin, 12 Februari 2018 | 09:12 WIB

Setengah jam kemudian dokter memutuskan saya harus meninggalkan rumah sakit. Sudah lima jam saya mendominasi gawat darurat. Saya tidak punya kekuatan lagi.

Menyerah.

Dokter menegaskan bahwa saya harus sabar. Menunggu pencernaan saya memproses secara alami segala makanan berat yang saya lahap. Nanti akan normal kembali. Tunggu saja. Pulanglah ke hotel. Begitu kata dokter.

Saya pun meninggalkan rumah sakit Madinah. Entah apa nama rumah sakit itu. Badan masih sakit. Lemas. Saya dipapah Azrul dan Tatang.

Sempoyongan.

Tiba di loby hotel perut saya bergejolak. Mungkin akibat zig-zag di dalam taksi. Tapi berhasil naik lift.

Tiba di lorong menuju kamar, tiba-tiba saya muntah. Luar biasa banyak. Di atas karpet yang empuk dan tebal. Seisi perut seperti tumpah semua.

Muntah itu membuat saya merasa lega. Perut tidak lagi sesek. Saya bisa lebih mudah bernafas. Tidak harus lagi selalu dalam posisi menengadah. Istri memandikan saya dengan sisa minyak kayu putih. Isna memberi saya minum air hangat.

Habis muntah saya kian lemas. Tapi saya bisa berbaring. Bisa bernafas dalam posisi berbaring. Maka saya tergolek di tempat tidur. Dada masih nyeri sekali. Punggung masih sakit sekali. Hanya perut tidak lagi sesek.

Sampai di sini fokus sakit saya masih di seputar pencernaan. Tidak ada kecurigaan ke yang lain. Apalagi ke saluran darah utama yang robek. Saya terus terngiang kata-kata dokter: nanti akan sembuh sendiri. Berilah waktu pada pencernaan untuk bekerja secara alami. (*)

Halaman:

Tags

Terkini