berita-utama

Selisih Suara Maksimal 0,5 Persen

Kamis, 5 Juli 2018 | 08:49 WIB

-

Metropolitan - Pintu Mahkamah Konstitusi (MK) terbuka lebar untuk pasangan calon (paslon) yang berniat menggugat hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang nanti bakal ditetapkan KPU. Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 158, permohonan gugatan bisa diajukan jika selisih suara maksimal dengan pemenang yang memperoleh suara terbanyak tidak melampaui batas 0,5-2 persen. Tergantung jumlah penduduk di daerah pemilihan masing-masing.

Jika merujuk pada UU Pilkada disebutkan bahwa syarat pengajuan gugatan hasil pilkada yaitu selisih suara minimal di bawah dua persen. Dalam pemilihan gubernur, ada empat kategori syarat mengajukan sengketa pilkada. Kategori pertama yaitu daerah dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 2 juta jiwa. Syaratnya adalah selisih suara sebesar dua persen.

Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta jiwa persentase selisihnya 1,5 persen. Jumlah penduduk 6 juta sampai 12 juta jiwa, selisihnya satu persen. "Kalau penduduknya lebih dari 12 juta, selisihnya setengah persen," jelas Fajar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (27/2). Dalam pemilihan wali kota atau bupati juga terdapat empat kategori syarat pengajuan sengketa. Untuk daerah dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 250 ribu jiwa syaratnya harus selisih dua persen suara. Sedangkan daerah dengan penduduk mencapai 250 ribu hingga 500 ribu jiwa persentasenya 1,5 persen. Kategori ketiga berlaku untuk daerah dengan jumlah penduduk 500 ribu hingga 1 juta jiwa yang mensyaratkan selisih satu persen. Untuk daerah yang penduduknya lebih dari 1 juta jiwa selisihnya 0,5 persen.

Untuk di Kabupaten Bogor yang penduduknya di atas 5 juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara maksimal 0,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU kabupaten/kota.

Jika melihat hasil quick count di pemilihan bupati (pilbup) Bogor, selisih pasangan calon berada di atas angka dua persen. Jika berpedoman pada ketentuan UU Pilkada, maka akan sulit paslon membawa sengketa hasil pilkada ke MK agar bisa diperiksa.

Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, gugatan dengan selisis di atas dua persen memang cukup berat. Meski tidak serta merta langsung ditolak MK, tetapi ada potensi akan ditolak MK. Sebab, MK akan mengacu pada UU Pilkada.

“Di UU Pilkada kan sudha jelas. Kalau lebih dari 1 juta penduduk, maka maksimal 0,5 persen selisih suaranya. Kalau selisih di atas dua persen memang lumayan berat ya. Sebenarnya kalau angka itu dibuat dalam konteks untuk memastikan kalaupun terjadi selisih suara, kandidat itu tidak terlalu jauh dengan kandidat lain. Kalau selisihnya dua persen, ada potensi akan ditolak mahkamah konstitusi. Ini potensi ya, tidak serta merta bisa langsung ditolak,” kata Ray kepada Metropolitan, kemarin.

Menurut Ray, secara substansi MK akan menerima gugatan di atas dua persen jika ada alasan dan unsur pembuktian yang kuat. Tetapi secara prosedural tetap mengacu kepada syarat minimal selisih suara. Jika memang ada indikasi pelanggaran serius yang Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), bisa saja hakim membuka kesempatan itu dibuktikan.

“Kalau alasan dan unsur pembuktiannya kuat. Secara substansi iya, tapi secara prosedural tetap mengacu ke persyaratan minimal selisih suara tadi yang 0,5 persen. Kalau mencari kebenaran substansial, bisa saja dia tidak berpatokan ke syarat itu, melihat dari aspek kebenaran prosesnya. Unsur TSM yang menguatkan, politik uang, intimidasi dan manipulasi suara. Biasanya tiga kasus ini yang dinyatakan TSM dan itu pun jika bisa dibuktikan,” terangnya.

Namun sejauh ini, Ray merasa permohonan sengketa hasil pilkada di atas dua persen yang dibawa ke MK jarang diterima. Dalam kata lain, permohonan ini tidak bisa diperiksa pokok materinya. “Kalau dari pengalaman, jarang ya kita dengar ada yang lolos,” tandas lelaki yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima).  (fin/c/feb/run)

Tags

Terkini