METROPOLITAN – Hari Anak Nasional (HAN) 2018 yang jatuh pada Senin (23/7) hari ini harus tercoreng dengan adanya perlakukan tak adil yang dialami siswi Bogor. FF, pelajar SMK Kesehatan di Bogor Tengah harus menelan pil pahit akibat tunggakan SPP yang tak sanggup dibayar. Sampai-sampai ia tidak naik kelas.
Terkuaknya kasus ini berawal dari adanya pengakuan orang tua yang sedih melihat anaknya yang dipaksa putus sekolah karena alasan biaya. FF (17) tidak bisa mengikuti ujian akhir semester, lantaran belum membayar tunggakan uang sekolah. “Kami tidak tahu harus bagaimana. Kenapa sekolah sampai membiarkan seperti ini, padahal sejak FF masuk, dia pakai SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu, red) karena memang anak yatim. Tapi selalu dipersulit, sejak kelas 1, apa karena itu (kurang biaya)? Ini jadi akumulasi kekesalan kami, sudah kurang sabar gimana,” katanya Nunung, orang tua FF saat ditemui Metropolitan, kemarin (21/7). Dia menceritakan, sejak awal tahun masuk ke sekolah jurusan keperawatan ini, FF yang seharusnya menginjak kelas 3 SMK ini sering mengalami tindakan tidak menyenangkan, terlebih soal biaya. Padahal seharusnya anak tidak perlu harus tahu tentang persoalan finansial terkait biaya sekolah, agar tidak mengganggu konsentrasi siswi menuntut ilmu. ”Yang paling parah, waktu Praktek Kerja Lapangan (PKL), sampai-sampai dijemput sama sekolah ke tempat PKL. Lantaran belum bayar uang PKL. Kan kasihan anaknya, padahal secara akademis dia tidak ada masalah,” paparnya. Kini, anaknya pun agak syok dengan insiden yang dialami. Ia mengaku bingung harus minta bantuan siapa agar anaknya bisa kembali bersekolah. FF kini berada dirumah lantaran diberi pilihan oleh sekolah, antara tetap di sekolah dengan syarat tinggal di kelas 2, atau naik kelas dengan syarat pindah sekolah sejak tahun ajaran baru, Juli ini. “Kan aneh. Apalagi akademisnya tidak ada masalah. Bukannya SKTM bisa meng-cover ya? Nanti di akhir bisa dilunasi saat pengambilan ijazah. Total yang harus dibayar Rp8 jutaan. Ini harus jadi perhatian Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, melalui Dinas Pendidikan (Disdik). Jangan sampai kelakuan sekolah ini, merugikan siswa lain, cukup anak saya saja yang kena,” ucapnya. Menanggapi hal itu, Rektor Universitas Pakuan (Unpak) Bogor Bibin Rubini menegaskan kejadian yang menimpa FF tidak patut terjadi, sebab yayasan-yayasan pendidikan semestinya ada misi sosial, yang membantu masyarakat kurang atau tidak mampu. “Yayasan pendidikan juga tidak berorientasi melulu pada bisnis laba, tapi nirlaba. Jangan sampai memperlakukan pelayanan pendidikan secara diskriminatif. Tidak bijaksana kalau seperti itu,” ujarnya. Senada, Rektor Universitas Djuanda (Unida) Bogor Dede Kardaya mengatakan, jika sudah ada SKTM seharusnya siswa tersebut sudah memenuhi kewajiban, dan selayaknya dipenuhi haknya untuk mengikuti ujian. Sehingga status kelulusannya ditentukan oleh hasil ujian, bukan karena tidak ikut ujian akibat tidak diberikan kesempatan untuk ujian. “Apalagi jika SKTM-nya dijadikan prasyarat untuk ikut ujian sudah diserahkan,” katanya kepada awak media. Terkait pilihan yang harus dihadapi siswi itu, yakni tetap di sekolah dengan syarat tinggal kelas atau naik kelas tapi pindah sekolah, Dede mengaku belum pernah tahu akan kebijakan tersebut. “Setahu saya tidak ada yang seperti itu, mungkin peraturan internal sekolah? Ini tugas Dinas Pendidikan dan juga Komisi Pendidikan sebagai pemangku kepentingan langsung di bidang pendidikan, sebaiknya turut membantu menyelesaikan peemasalahan itu, agar tidak terjadi lagi kasus serupa,” pungkas. Namun hingga berita ini dikorankan, pihak sekolah belum bisa dimintai keterangan. Sementara Dinas Pendidikan (Dsdik) Kota Bogor juga belum memberikan respon. (ryn/c/feb)